Sabtu, 03 Oktober 2009

Perempuan dibayar Puisi*

Perempuan yang Dibayar Puisi Cerpen Faisal Syahreza Dimuat di Batam Pos 06/14/2009 Telah Disimak 262 kali

Aku merasa bersalah bila menatap matamu yang bagai ceruk dalam, setelah hangus dalam ranjangmu semalam. Oh tapi aku tahu itu keinginanmu bukan? Kau bahkan sepertinya bahagia bukan kepalang bila malam-malam – ketika tak ada satu lelaki pelanggan pun yang melirikmu dan mau tidur denganmu – aku datang dan menyambutmu berpelukan sayap lelaki bujang. Aku merasa sesat terjebak lagi dengan pertemuanmu, bagai menemukan beruang lapar di hutan. Dan sebaliknya anehnya jadi serba salah, bila aku tak kunjung bertemu denganmu, aku merasa dingin,sepi sekali. Aku merasakan sedang berenang di lautan es tanpa busana. Tanpa ada rumah menyambutku dengan api unggun dan segelas susu hangat ketika pulang.
Aku selesaikan ciumanku denganmu begitu khdimat. Kau sempat menghempaskan tubuhmu lagi di kasur empuk, merubung tubuhku dengan goda. Dan ingin kembali luruh ketika jari lentikmu mengajak bercinta lagi. Tak bisa, kataku padamu. Aku harus pulang, kuliah pagi ini. Aku harus siapkan buku dan makalah. Mata kuliah mengajarkanku membagi waktu sebaik mungkin, cinta dan karir bebarengan. Mudah-mudahan lancar, ucapku. Agar ia mengerti dan mau mendoakanku.
Aku tahu dia pulang dan merasakan kengerian yang bisa aku tangkap dalam kecemasannya, ketika aku mengancingkan kemejaku. Dia selalu cemas dasyat. Padahal dia perempuan masih muda dan cantik dengan bibir yang tak bosan-bosan menawarkan candu. Tubuhnya ramping, dan di dadanya sepasang apel matang. Dia tak terlalu pintar cara bercerita tentang dirinya juga hidupnya.Otak yang sedemikian tergambar dari perilakunya. Setelah mencermati perjumpaan berkali-kali, dia masih cukup pantas sekolah di kampus swasta. Aku tahu dia cemas sekali, sangat bisa aku rasakan. Namun senantiasa dia menyerukan, tak ada apa-apa aku, karena baginya diriku tujuannya. Dia selalu seperti itu bila kutanyai ‘ada masalah?Aku tak mau memaksa menanyainya, tak ada gunanya. Dia perempuan paling cantik dan paling bisa memahamiku di segala hal di usiaku yang muda. Aku masih ingat dengan ice cream ia pilihkan untukku. Bukan main mengapa dia bisa mengetahui aku menyukai rasa coklat dengan balutan selai strobery dan kacang. Bagi orang ini sepele, bagiku ini luar biasa. Ini sesuatu yang sempurna, apalagi ketika dia membelikanku baju berwarna putih bermotif anak anjing. Dia seakan dikirim Tuhan untukku. Dengan segala kekuasaan yang menyihirku. Orang bisa menemukan pasangannya membuat ia nyaman, dalam hal kecil maupun hal besar.
Makanya, aku tak melepasnya begitu saja. Dia kupelihara bagai sebongkah tanah ditanami pepohanan jangkung. Bermacam buah bergelantungan di rimbun dan keteduhan daunan di hatiku. Setiap kemarau aku ada di sana. Setiap musim hujan aku akan di sana, menengokinya, menengoki kebun siap panen di segala musim. ‘Aku cinta kau wahai kebun yang setiap saat siap kupetik' padanya kubisiki.***
Selesai kuliah, bergegasku menuju taman parterre. Di sana merebahkan tubuhku ke rerumputan menatap kemilau cahaya senja di daunan. Aku ingin menulis puisi. Akan kucari tempat membantu pikiranku jernih. Mengingat-ingat gadis dulu sempat aku taksir, Dini, Kiki, Fuji, Sri, Putri, Wia, banyak lagi. Aku ingat-ingat mereka. Membantu mencairkan perasaan dituangkan ke tulisan.
Ada nyamuk-nyamukmengganggu lamunanku. Aku tak sempat membuka buku catatan menuliskan sepatah kata pun, ketika temanku datang. Knalpotnya nyaring, merobek lengangnya sepi taman. Ah, Erik selalu begitu, gengster motor punya sikap semaunya. Dia mengajakku pulang ke kostan, aku ikut dengannya. Setelah menawariku membeli sebotol anggur dan sebungkus rokok. Aku setuju saja. Habis perkara sudah.***
Dia malah tidur sesampainya di kost. Aku malah ingin berdiam sejenak. Aku kangen perempuan yang selalu menghanguskanku diranjangnya itu. Perempuan senantiasa menyimpan kenangan tentangnya di lipatan ingatanku. Aku menyalakan komputerku perasaan ingin menulis puisi yang sempat hilang. Ternyata aku ingin menulis puisi untuk seorang perempuan yang baru aku kenal. Dia lebih berguna dari yang aku kira. Dari bayang dia aku coba raih di batas pikiranku, aku dapati potongan puisi. Oh, ini sepatutnya tugas calon penyair yang berusaha mencari pengakuan. Penyair kesepian.Kemudian perlahan aku ingin terbakar oleh tubuhnya. Mungkin aku harus sedikit mengingat beberapa adegan ranjang dengannya. Seperti, bagaimana segalanya milikku habis ia hisap. Seperti menghisap sari-sari kekuatanku lenyap dan lelah meliputiku, waktu itu.***
Erik sudah pulang tentunya, selalu pergi bila telah malam, jalanan lengang. Ketika jalan mulai jarang kendaraan. Seribu kupu-kupu bulan, bermunculan dengan luka dan tangisan sangat rahasia, tak bisa didengar. Entah apa yang ia cari di sepi itu. Aku ke luar kost, menuju warung di ujung jalan. Hanya beberap kios masih buka.“Rokok.”“Berapa?”“Setengah bungkus.”Aku hendak mencari makan, perut kelaparan. Malam lumayan larut, hampir jam duabelas, aku berpikir tak dapat makanan. Untung kawasan kampus, ada saja beberapa warung buka 24 jam. Meski kutahu, lauknya dingin dan sisa tadi tak laku dibeli orang. Aku menuju jalan. Menikung di gelap malam. ***
Oh, tidak kau, kataku setengah terkejut. Kudapati sepasang matamu lagi-lagi melukis kecemasan membadai. Aku tak sanggup memandangnya. Lalu kau tersenyum. Dan.“Bahagia rasanya.”Aku memeluk tubuhnya yang setengah beku. Mungkin sudah lama di sini. Di simpang jalan lengang hanya ada remang bulan. Dia masih memiliki tangan hangat dan bau parfum yang aku suka. Aku cintai dia seperti mencintai sebatang rokok satu-satunya. (rokok pada saat itu bukan main istimewanya). Aku senang bisa tanpa sengaja bertemu dia. Seakan tak kehabisan cerita di obrolan keluar dari mulutku ini. Dia seakan tak bosan mendengar ocehanku meski terkadang sama sekali tak penting.Lama juga waktu dibabat habis, dingin tak terasa lagi saat itu. Aku kehabisan cerita, dia nampak lelah mendengarkannya.Aku harus bagaimana?***
Kini setelah aku ambil keputusan mengajaknya ke kostan, aku sendiri bingung, apa dilakukan di ruang kotak penuh kekosongan. Aku menyuruhnya tidur di kasurku yang tipis. Dia tersenyum bersandar di punggungku, kau hangat. Katanya sambil terbenam begitu saja. Bagai seekor burung menemukan sarangnya di atas pohonan tinggi dan aman. Aku mencoba mencegahnya, mencegah diriku nekat lagi memberangus diri. Aku tak enak kamar sebelahku bila ia ternyata mengetahui apa yang terjadi di kamarku bila lepas dari control, berselancar di lautan kasmaran.
Perempuan itu seakan tak gelisah, malah membuka pakaiannya hanya menyisakan kutangnya dan celana dalamnya kemudian kembali meringkusku. Aku tergoda, tapi tetap tegar berusaha lepas cari cengkramannya yang membabi buta. Dia bukan seorang yang pantang menyerah rupanya, dia berbisik padaku, kamu kangenkan sama hangat tubuhku, sambil mencoba meluruhkan lagi diriku.
Aku nyalakan komputer. Siapa tahu dia mengerti sikapku itu. Komputerku meraung suara kipas dan mesinnya. Dia sedikit kecewa dan matanya kini terasa jenuh, maafkan aku dalam hatiku padanya.***
Ini puisi yang kutulis saat ingat kamu, seruku pada perempuan yang kucintai itu bagai menyukai permen manis di lidahku. Aku goyangkan tubuhnya yang kini telanjang. Aku merasa dia nyaman.Lihat puisiku ini, bujukku, aku coba mengirimkannya ke koran-koran.Dia melorot lagi dalam genggaman tanganku. Aku sedang merasa memberitahukannya ini semua karenamu aku bisa menulis. Tapi dia terus berpindah dari samping kananku, ke samping kiriku begitu seterusnya. Aku tahu dia merasa tersanjung. Aku segera memerhatikan lekuk tubuhnya penuh dengan cindramata itu. Kenangan manis dalam ingatan.
Oh tidak! Kutemukan berbagai luka lebam di antara tubuhnya. Di punggungnya, dada, lehernya, selangkangannya dan di betisnya. Luka pukulan benda tumpul. Hatiku gusar, siapa berani menyakiti tubuh mulusnya ini. Aku bersumpah ingin mematikannya dalam cekikanku yang lambat agar tahu rasanya kematian.
Aku ciumi luka-lukanya dan kutemukan kisah baru. Hangus segalanya. Menuju malam hangat di perapian. Dan pada luka-luka di tubuh perempuan itu, aku menemukan diriku, bapakku, pamanku, teman-temanku, guruku, orang asing, yang tak kukenali sebelumnya. Mengapa wajah-wajah mereka jelas sekali.*** Pagi. Begitu terbangun dia tak ada, hanya mesin komputerku dan printerku menyala. Kertas berserakan. Oh dia – perempuan itu – melakukannya sebelum aku bangun. Dia mengambil haknya sebagai perempuan yang kupinang malam itu, dengan beberapa puisi sebagai mahar, pengganti kebahagian yang tak kukira akan kurasa. Dan kudapatkan dari dia kenikmatan tiada tara. Aku ingat lagi dia – perempuan itu – berkata ‘harus pulang ke rumah pamannya pagi sekali dan membawa uang setoran, sebelum matahari mencuri segalanya darinya. Dan kini kulihat matahari muncul dengan sinarnya membawa cerita usang dalam hidup yang siap dijalani lagi seperti hari sebelumnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar