Senin, 26 Oktober 2009

MEMAKNAI HIDUP DENGAN BELAJAR (Belajar dari Konfucius)

By: Romald Kahrdi

Belajar adalah salah satu bentuk aktivitas manusia untuk memberikan arti dalam hidup atau untuk memaknai hidup dan kehidupan di dunia ini. Belajar sebagai salah satu bentuk aktivitas ini bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Ada yang belajar sesuatu dari pengalaan semata; tetapi juga ada yang melaksanakan aktivitas belajar itu melalui pendidikan di sekolah. Sejak dalam kandungan ibu, sebenarnya manusia sudah mulai belajar. Belajar untuk menyesuaikan diri dengan kondisi rahim sang ibu. Hal ini dilanjutkan ketika seorang anak manusia lahir ke bumi. Pengalaman eksistensial sebagai pengalaman perdana di dunia nyata adalah pengalaman belajar yang diperoleh dari dekapan sang ibu. Dari sini belajar sebagai aktivitas sesungguhnya terjadi.

Aktivitas belajar membuat manusia bertemu dengan ciptaan Tuhan yang lain, terlebih berhadapan dengan manusia sebagai sesamanya. Kebijaksanaan diperoleh melalui pengalaman belajar. Melalui aktivitas belajar pula manusia mengasah dan menghidupi kepribadiannya. Sebagai mana kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya campurtangan dari yang lain.

Walaupun manusia bisa belajar dari pengalaman hidupnya untuk bisa berkembang, namun dalam peziarahan hidupnya Ia masih membutuhkan pengalaman belajar melalui jalur pendidikan. Setidaknya ada empat unsur utama yang menjadi dasar untuk belajar memaknai hidup dalam kehidupan ini. Keempat unsur itu antara lain: belajar untuk mengasah kemampuan intelektualitas, belajar untuk mencintai, belajar untuk mengasah kepekaan solidaritas dengan sesama dan belajar untuk menghargai kehidupan moralitas-etika. Keempat unsur ini tidak dapat dikesampingkan perannya dalam mewujudkan pendidikan yang ideal bagi kemanusiaan.
Keempat unsur ini sebenarnya sejalan dengan tujuan aktivitas belajar manusia seturut pandangan UNESCO (United States of Educational Scientical and Cultural Organization), yaitu: Learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.

Learning to know berkaitan dengan logos, (belajar untuk mengasah intelektualitas.) Learning to do adalah eros (mengasah kepekaan untuk mencintai sesama.) Learning to be berkaitan dengan Ethos dan learning together adalah pathos dimana rasa kebersamaan dan keprihatinan bertumbuh.

Confucius yang dianggap sebagai guru pertama dalam sejarah Tiongkok, telah menyiratkan konsep yang mengarah kepada empat tujuan belajar menurut UNESCO di atas.
Menurut UNESCO, Learning to know adalah belajar untuk mengetahui. Di sini tujuan pertama dari aktivitas belajar manusia adalah untuk memperoleh pengetahuan yang benar, sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Confucius pun berpandangan bahwa hakekat manusia adalah baik. Ia juga menekankan bahwa salah satu alasan utama orang menjadi tidak baik adalah karena ketidaktahuan. Maka bertentangan dengan Daoisme yang berpandangan bahwa pengetahuan merusak kemanusiaan yang baik, Confucius justru mengajarkan agar orang terus belajar dan mencari pengetahuan seluas-luasnya. Konsep Confucius ini diterapkan secara luas dengan memberi tempat yang kuat bagi seni, puisi, sastra, dan bahkan tradisi demi mengimbangi ajaran filsafatnya. Seni menjadi sarana hiburan batiniah yang sekaligus menyeimbangkan keutuhan manusia. Atau dengan kata lain pengetahuan yang dipikirkan Confucius memang tidak hanya sebatas ilmu rasional tetapi juga meluas pada pengetahuan yang mengolah rasa, jiwa, dan spiritual manusia.

Dengan demikian learning to know adalah proses mencari pengetahuan seluas mungkin dengan sasaran keutuhan manusia dalam akal budi, hati nurani, dan spiritual. Hal ini mirip dengan paham antropologi modern yaitu pneuma, psyche, dan soma.

Learning to do adalah belajar untuk melakukan. Hal ini ditetapkan sebagai arah dan tujuan dari aktivitas belajar yang kedua dari proses belajar yakni pada kemampuan untuk bertindak dan berkarya. Pengetahuan yang luas harus diterapkan untuk bisa dijadikan sebuah tindakan dan karya yang baik. Sejalan dengan itu, Confucius pun telah menekankan bahwa orang harus berbuat atau berkarya. Bertolak belakang lagi dengan Daoisme yang mengajarkan agar “tidak melakukan apa pun”, Confucius mengajarkan (berbicara tentang moral) “berbuat tanpa pamrih”. Confucius sering mengaitkan ini dengan konsep Ming (sering diterjemahkan sebagai takdir, nasib) yaitu orang harus tetap berusaha untuk berbuat dan berkarya yang baik tanpa pamrih karena nilai luhur dari tindakan bukanlah terletak pada hasil melainkan pada proses di mana orang melaksanakan sesuatu tanpa menghiraukan apakah secara lahiriah perbuatan itu berhasil atau gagal. Confucius berkata “Manusia bijaksana bebas dari keragu-raguan; manusia berbudi luhur bebas dari perasaan cemas; manusia yang berani bebas dari ketakutan”. Ucapan ini berarti orang akan bahagia jika bebas dari kecemasan apakah akan berhasil dan bebas dari ketakutan akan gagal. Jadi, tindakan dan berkarya adalah sebuah kewajiban manusia di mana nilai dari tindakan itu bukanlah lahiriah berhasil atau gagal melainkan pada keteguhan untuk selalu berusaha melakukannya dengan baik.

Learning to be adalah belajar untuk menjadi. UNESCO meletakan tujuan yang ketiga dari aktivitas belajar yaitu menanamkan sikap tenggang rasa atau merasa “menjadi” terhadap orang lain. Dalam ajaran Confucius, learning to be sepadan dengan teori tenggang rasa (Chung) dan altruisme (Shu). Teori tenggang rasa (Chung) dijelaskan dengan perkataan, “Lakukanlah kepada orang lain sesuatu yang kamu sendiri ingin orang lain melakukannya untukmu”. Teori altruisme (Shu) yaitu “Jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain melakukannya padamu”. Maka jelaslah bahwa Confucius pun telah memiliki kesadaran pentingnya merasa “menjadi” terhadap orang lain. Hal ini menunjukkan olah rasa yang diasah yaitu menjadi mengerti akan orang lain seperti diri sendiri, menjadikan diri sebagai tolak ukur refleksi moral. Selain itu juga ada ajaran pembetulan nama yaitu orang hidup sesuai dengan nama (jabatan, peran sosial). “Hendaknya penguasa menjadi seorang penguasa, menteri menjadi menteri, ayah menjadi seorang ayah, dan anak menjadi seorang anak”. Maka orang perlu menghidupi atau menjadi sesuai “nama”-nya.

Learning to live together adalah belajar hidup bersama. UNESCO meletakkan tujuan yang keempat dari aktivitas belajar manusia yaitu orang belajar untuk hidup bersama orang lain atau bersosialisasi dalam masyarakat. Confucius pun telah menegaskan bahwa kemanusiaan yang tertinggi adalah pada tahap hidup sosial bersama orang lain. Dalam hal ini kita temukan rasa kemanusiaan (jen) sebagai landasan moral dan etika. Pada kesimpulannya Confucius menyatakan bahwa cinta kasih. “Rasa kemanusiaan terkandung dalam sikap mengasihi terhadap manusia yang lain”. Manusia yang benar-benar mengasihi orang lain adalah manusia yang dapat melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat.

Oleh karena itu, di era modern ini tampak nyata bahwa pemikiran Confucius masih relevan untuk dapat diterapkan. Sekalipun pandangan UNESCO tetang keempat tujuan dari aktivitas belajar dalam proses pendidikan yang ideal tidak murni bertolak dari paham ajaran Konfusianisme tetapi inti yang hendak disampaikan mengakar pada suatu prinsip yang sama yaitu humanisme yang merupakan takaran ukuran kemanusiaan yang integral dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Karenanya, belajarlah dari pengalaman karena hidup kita akan menjadi bermakna apabila kita tak bosan-bosannya belajar dari pengalaman hidup kita. Dari sana hidup itu akan menjadi lebih bermakna!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar