Selasa, 24 Maret 2009

Bom Cebo Lelo

Bom Cebo lelo
Versi 1

Bom cebo lelo, bom…bom….bom cebo lelo, bom…bom …..bom cebo lelo
cebo lelo anak momang d’amang – inang
Bom cebo lelo, bom…bom….bom cebo lelo, bom…bom …..bom cebo lelo
cebo lelo anak momang d’inang – amang

Bom cebo lelo, cebo lelo amange
Bom cebo lelo, cebo lelo inange
Ooo ………. Inango, Ooo……….. amango
Bom cebo lelo, cebo lelo anakme

Bom cebo lelo, bom…bom….bom cebo lelo, bom…bom …..bom cebo lelo
cebo lelo anak momang d’amang – inang
Bom cebo lelo, bom…bom….bom cebo lelo, bom…bom …..bom cebo lelo
cebo lelo anak momang d’inang – amang

Konem tadang lako pala’n anak momang d’amang - inang
Naring laku ai reba’n anak dite
Konem nanang na’lata bana weki nggelok gaku
Toe caman anak momang d’amang – inang
Bom cebo lelo, cebo lelo anakme

Naigo amang, nuk ho’o inang
Latang anak momang d’inang - amang
Bom cebo lelo, cebo lelo anakme

Konem tadang’n lako pla’n anak d’amang - inang
Toe gega laing le nai nggelok daku
Konem manga’s momang agu omar lata bana
Toe caman omar agu momang le’anak momang d’amang - inang.
Ai aku nanang reba momang d’amang - inang
Bom cebo lelo, cebo lelo anakme

Jakarta, 03 April 2009



Bom Cebo lelo
Versi 2

*
Bom cebo lelo, cebo lelo amange
Bom cebo lelo, cebo lelo inange
O ………. inango
O……….. amango
Bom cebo lelo, cebo lelo anakme

**
Konem manga reba bana
Toe caman anak d’inang - amang
Konem nanang lata bana
Toe caman anak d’amang – inang

***
Naigo amang, nukgo inang
Latang anak dite
Bom cebo lelo, cebo lelo anakme

”Kembali ke * sampai *** lalu balik ke ** ditutup ****”

Jakarta, 03 April 2009

bangunkan "mereka" di alam baka

Gemuruh bergelora
membelah nurani bumi
membesuk bianglala

Ada tangis bersemi kalbu
air mata bumi tertumpah
membongkar sukma insan pertiwi

Ada nyawa terbang melayang
membenam bersama gemuruh alam
Ada nyawa bertabur tangis
pergi bersama hembusan air

Tuhan
Inikah namanya duka
inikah namanya piluh?

Datang bersama kumandang adzan
bagai badai samudra pertiwi
menyapu
mengobrak
membenam bumi
Badai menerpa insan kehidupan

Tuhan bangunkan "mereka" di alam baka.

INDONESIA JAYA

Indonesia
Kubangga negeriku
Kubangga bangsaku
Indonesia jaya

Indonesia
Berkibarlah benderaku
Belahlah langit pertiwi
Merah putih bergema
Membentang di langit pertiwi
bangkitlah bangsaku
Indonesia jaya

Jakarta, 20 Mei 2008

Senin, 16 Maret 2009

LAKO PALA NETENG TANA

Lako pala neteng tanah
Limbang tacik legong natas labar, reba
Kawe mose gula mane
Kudut mangan mose leso

Titong salang
Tegi somba dite ende emage....

Mo mongkos kole mbohes
Hitu trok d'empo danong, reba
Laong bakok koe du lako
Lalong rombeng koe du kolen

Tegi gerak
Agu nawas dite ende agu emage....

Lako reba
Neka rantang reba
Tegi berkak one morin
Kudut jari agu jirin dite mose

Jakarta, Maret 2009

Kamis, 12 Maret 2009

MENAKAR DAMPAK LINGKUNGAN EKSPLORASI PERTAMBANGAN DI MANGGARAI BARAT

Beberapa bulan belakangan ini, berkembang polemik di masyarakat tentang perlu tidaknya mengeksplorasi / mengeksploitasi tambang di Manggarai Barat. Pihak yang pro pertambangan melihat ini sebagai suatu kesempatan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan memajukan perekonomian. Akan tetapi, pihak yang kontra melihatnya dari aspek yang lain, yakni dampaknya bagi lingkungan sosial dan lingkungan alam. Disadari atau tidak, kegiatan eksplorasi/eksploitasi tambang Berdampak ganda; membawa dampak positif dan negatif bagi masyarakat. Akan tetapi yang perlu dipikirkan adalah dampak atau efeknya terhadap kehidupan ekosistem alam dan generasi yang akan datang.

Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran sejauh mana eksplorasi / eksploitasi tambang itu membawa efek bagi kehidupan sosial dan lingkungan alam Manggarai Barat. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggugat atau menghakimi yang pro pertambangan dan memberi dukungan moril kepada kelompok yang kontra terhadap eksplorasi/eksploitasi tambang di Manggarai Barat. Tulisan ini memandangnya dari sudut pandang pengetahuan penulis dari hasil otak-atik saya melalui dunia maya. Walaupun bahan dasarnya diambil dari dunia maya, namun hasilnya saya rasa perlu untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil dan penentu kebijakan dan bagi masyarakat manggarai Barat.

Para pelaku bisnis pertambangan, pemerintah, dan para pengamat ekonomi sangat jeli dalam membingkai dan membungkus investasi pertambangan, baik tambang mineral maupun minyak dan gas. Mulai dari bungkus kepentingan devisa, penyediaan lapangan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, hingga bungkus mengurangi angka kemiskinan. “Framming” yang begitu sempurna, tapi betulkah industri pertambangan akan membawa kemakmuran bagi rakyat?Ada sebuah olok-olok yang kerap dilontarkan oleh kelompok pro pertambangan ketika menanggapi sikap kritis masyarakat yang menolak hadirnya industri pertambangan di daerahnya, kurang lebih begini, “Jika tak setuju dengan pertambangan, kembali saja ke zaman batu. Juga tak usah lagi menggunakan alat-alat yang menggunakan bahan dasar mineral”. Olok-olok ini mereka lakukan sebagai bunuh diri filsafat, atas ketidakmampuan mereka menjelaskan hubungan antara pertambangan dan kemakmuran rakyat yang sebenarnya tidak pernah berkorelasi positif.

Manggarai Barat tak lama lagi akan memasuki fase rezim industri tambang mineral atau rezim industri keruk. Tanda-tanda akan munculnya rezim industri tambang terutama mangan di Manggarai Barat telah tampak di depan mata. Setidaknya ini yang muncul ke permukaan dan menjadi bahan perbincangan masyarakat manggarai barat akhir-akhir ini. Industri pertambangan merupakan industri yang tidak berkelanjutan karena tergantung pada sumberdaya yang tidak terbarukan. Jika kemudian kelompok pro pertambangan begitu yakin bahwa industri tambang akan membawa kemakmuran. Bagaimana dengan dampak lingkungan yang akan di wariskan industri pertambangan, terutama setelah beroperasi?. Justru akan lebih memiskinkan masyarakat di sekitar areal pertambangan.

Pengelolaan lingkungan hidup dalam operasi pertambangan seharusnya meliputi keseluruhan fase kegiatan pertambangan tersebut, mulai dari fase eksplorasi, fase produksi, hingga pasca penutupan tambang. Belajar dari catatan operasi penutupan pertambangan yang dilakukan oleh PT Barisan Tropical Mining (milik Laverton Gold Australia) di Sumsel, PT Indo Moro Kencana (milik Aurora Gold Australia), PT Newmont Minahasa Raya (milik Newmont Amerika Serikat), PT Kelian Equatorial Mining (milik Rio Tinto Inggris-Australia). Seharusnya Manggarai Barat telah bersiap diri dan banyak belajar dari kasus-kasus pertambangan di wilayah lain di Indonesia.

Fenomena yang terjadi pada industri pertambangan di Indonesia, justru perusahaan tambang tersebut memiliki kekebalan untuk tidak mentaati aturan-aturan lingkungan hidup dan dapat dengan bebas melakukan pencemaran tanpa takut mendapatkan sanksi. Perilaku lainnya adalah praktik pembuangan limbah pertambangan dengan cara-cara primitif, membuang langsung limbah tailing ke sungai, danau, dan laut.

Industri pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam tambang (Acid Mine Drainage), dan Tailing.

Pertama, Lubang Tambang. Sebagian besar pertambangan di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.

Kedua, air asam tambang. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.

Ketiga, tailing. Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh mahluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan. Celakanya, tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan proses penutupan tambang secara benar dan bertanggungjawab. Kontrak karya pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi, dalam pikiran banyak pelaku industri ini adalah penghijauan atau penanaman pohon semata. Jauh panggang dari api.

Pemerintah Manggarai Barat tak ada salahnya belajar dari kasus-kasus dan potret pertambangan di wilayah lain dalam menghadapi invasi rezim industri keruk yang telah masuk ke Manggarai Barat. Investasi pertambangan tidak harus serta-merta dilihat dari dimensi ekonomis dengan mengabaikan persoalan lingkungan yang bersifat jangka panjang dan laten. Belajar dari banyak kasus hadirnya pertambangan di daerah yang miskin, kemakmuran bagi rakyat hanyalah ilusi, ditambah sebuah warisan jangka panjang bernama pencemaran lingkungan. Pertanyaannya, Akankah eksplorasi tambang di Bumi ”Congka Sae” tetap diLanjutkan? Semuanya ada di tangan pemerintah dan masyarakat Manggarai Barat yang mendiami tanah Manggarai Barat.

Voice of the voiceless

Akhir-akhir ini, teriakan atau rintihan kegelisahan anak negeri, khususnya orang miskin atau orang yang kurang mampu sebagai akibat dari adanya rencana pemerintah untuk menghapus subsidi BBM serta menaikan harga BBM semakin kian keras.

Desakan arus bawah/kaum marginal yang terpinggirkan akibat kebijakan pembangunan yang salah untuk bersuara sudah semakin kuat. Gumaman mereka kini mulai diikuti oleh cendikiawan muda Indonesia yakni kalangan pelajar dan mahasiswa. Tidak heran, Kemarin Hingga hari ini BEM UI se-indonesia mengadakan aksi turun ke jalan untuk menyuarakan suara rakyat, suara kaum lemah, arus bawah yang tidak didengarkan atau pura-pura tidak didengar oleh para wakil rakyat di Parlemen di Tahtah senayan. Sepertinya rakyat kurang percaya lagi dengan wakil rakyat. Karenanya dengan caranya sendiri, parlemen jalanan menyuarakan aspirasi rakyat banyak.Parlemen sebagai corong aspirasi rakyat yang mengawasi dan memberikan masukan kepada pemerintah sepertinya tidak mampu lagi menampung aspirasi rakyat.

Momentum peringatan 100 tahun kebangkitan Nasional rupanya harus menjadi moment untuk merefleksikan perjalanan bangsa Indonesia, khususnya dalam memaknai 63 Tahun Kemerdekaan dan menjadi moment untuk membangun kembali rasa kebangsaan kita sbagai sebuah bangsa yang bermartabat. Seabat kebangkitan nasional yang kita rayakan tahun ini menjadi moment untuk membangun dan mengentaskan benih-benih kemiskinan. Kalau Dulu kita berjuang untuk merdeka dan terlepas dari penjajahan bangsa lain. Kini kita berjuang untuk membebaskan diri dari kemiskinan. Namun Apa sebenarnya yang menjadi factum primum dari kemiskinan di negeri ini?

Kemiskinan masih menjadi momok dan batu sandungan dalam pembangunan di negeri ini. Kemiskinan masih dan terus saja ada sepanjang negara ini masih dikelola secara salah. Salah urus negara menjadi biang prahara munculnya kemiskinan. Karena miskin orang akhirnya turun ke jalan untuk menjadi pengemis, tukang minta-minta. Karena tersingkir oleh pembangunan, banyak orang di kota yang tidak mempunyai rumah tinggal yang tetap, Karena penggusuran, banyak orang menjadi miskin, karena bencana alam yang menimpa warga, rakyat menjadi miskin. Kalau alam sukar untuk diprediksi; akan tetapi kalau miskin karena kebijakan pembangunan yang salah ini harus dilawan. Tidak heran kalau akhir-akhir ini semakin banyak orang turun ke jalan untuk berteriak. Beteriak melawan kebijakan pemerintah, kebijakan pembangunan yang berkedok untuk mensubsidi rakyat.

Kalau kondisi saat ini saja banyak rakyat miskin di kota dan desa yang terlilit kemiskinan, apa lagi kalau BBM naik. Semuanya pasti ikut naik. Apalagi barang-barang kebutuhan pokok. Pasti akan naik. Ekses dari kenaikan BBM itu merambat kemana-mana. Untuk masyarakat miskin kota hal ini akan menjadi ”Bumerang” dan akan menggerogoti hidup mereka. Orang miskin memang tak bisa bersuara,mereka hanya bisa bergumam dalam diam. Mereka buta politik itu dan ini. Mereka tidak tahu soal IMF, tidak kenal inflasi atau APBN. Yang mereka tahu, Presiden mereka sekarang adalah SBY dan wakil Presiden mereka adalah JK. Tentang lebih jauh tentang kebijakan moneter Indonesia , wah......... gelap seperti apa itu, merka sepertinya gak tahu apa-apa; tetapi jangan salah, sebuah pemerintahan dalam sebuah negara bisa tumbang kalau suara dari kaum tak bersuara, ”voice of the voicelless” tidak di dengar oleh pemerintah. Karena Revolusi pasti akan terjadi. Dan Revolusi yang didukung oleh rakyat, apalagi kalangan terpelajar seperti Mahasiswa dan rakyat banyak akan menghasilkan sebuah perubahan. Perubahan bisa kearah yang baik; bisa juga ke arah yang buruk. Karena itu jangan dipandang dan dianggap ”sebelah mata.”

Kembali ke Persoalan BBM, Sebuah pilihan yang sulit bagi Pemerintahan SBY & JK. Alasan untuk menaikan harga BBM hingga kini belum bisa diterima oleh rakyat, apalagi oleh kalangan ekonomi menengah kebawah dan kaum miskin. Kalau saya boleh berpendapat seperti ini: BBM boleh dinaikan kalau dengan tujuan untuk mensubsidi kaum miskin/rakyat miskin; kalau begitu BLT Plus jangan hanya untuk tiga bulan atau beberapa bulan saja, tetapi setiap bulan. Kalau demikian adanya, rakyat pasti tidak protes apalagi harus turun ke Jalan untuk berunjukrasa / berdemo.......... Asyik kan??????

Agamaku agama kasih

Akhir-akhir ini tindakan kekerasan yang berlatarkan agama sebagai benih konflik mulai terkuak lagi di bumi persada. Setidaknya, kasus Ahmadiah yang hingga kini belum menuai titik terang telah menimbulkan gesekan dan kekisruhan di tengah masyarakat, khususnya di kalangan Islam. Namun sebenarnya, apa yang dicari atau apa yang mau dipecahkan dalam persoalan ini?

Yang aku tahu, agama tidak mengajarkan kekerasan, demikianjuga ia tidak mengajarkan pemeluknya untuk saling mencemooh dan melukai satu sama lain. Apalagi agama Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Kristen yang diabsahkan keberadaanya di bumi persada, Indonesia. Lalu apa yang membuat orang bertindak brutal kepada sesamanya; padahal kalau ditilik dari sudut dan kaca mata manapun, manusia adalah makhluk beradab yang menghargai dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya.

Keberadaan manusia sebagai makhluk beragama dan makhluk beradab sudah dibuktikan sebagai penegak moral manusia dari masa ke masa. Seandainya agama itu rekaan dan rekayasa manusia, jelas keberadaan agama-agama itu di tengah kegermelapan dunia modern sudah hancur dan punah; namun kenyataannya agama tumbuh dan masih tetap diminati makhluk ciptaan yang bertitel ”Manusia” di Pelanet bumi ini.

Kasih adalah segalanya dalam agama, apalagi dalam agama Katolik ataupun protestan yang mengidolakan Yesus Kristus sebagai tokoh sentralnya. Agama Islam sebagai agama samawi menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai tokoh sentral mengajarkan kasih walau dalam bahasa dan cara yang berbeda tidak menginginkan kekerasan; dalam hal Jihad pun, kekerasan tidak boleh menjadi pilihan utama. Jihad yang sesungguhnya adalah jihad melawan diri sendiri untuk menguasai dan mengendalikan diri dan bertindak adil dengan yang lain. Agama Hindu mengajarkan aksi tanpa kekerasan dan menghormati ciptaan yang lain. ”Wei wu wei” Aksi tanpa kekerasan sebagaimana diteladani Gandhi, tokoh fenomenal dari negeri India. Agama Buddha yang menempatkan sang Budha Gautama sebagai tokoh sentralnya juga mengajarkan Kasih dan penguasan diri. Singkatnya, tiada satu agama dan ajaranya tidak mengajarkan Kasih atau membenarkan tindakan anarkis.

Lalu, apa yang membuat orang lupa mengejawantahkan ajaran agama yang mulia, yaitu ”kasih” dengan membiarkan ”kekerasan” muncul? Kembali kepada fitra manusia. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki dan inilah ”dosa” manusia yang membedakannya dengan malaikat sebagaimana di ikhtiarkan dalam agama Islam.

Ada beberapa alasan mengapa agama menjadi factum primum kekerasan: pertama, adanya pemahaman yang sempit tentang agama sendiri atau keyakinan agama sendiri. Di sini pemeluk agama meyakini secara ”berlebihan” bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar dan memandang rendah keyakinan agama dari pemeluk agama yang lain dengan mengkafirkan yang lain. Pandangan ini memunculkan beberapa pandangan ekstrim, antara lain: Fundamentalisme agama dan garis keras dalam agama. Di sini, militansi dan apologia teoretis terhadap keyakinan agamanya menjadi yang paling benar. Dengan demikian, penistaan terhadap ”kebenaran” ini menimbulkan luka di hati pemeluknya. Luka akibat ”rasa” penistaan inilah yang melahirkan ”niat” untuk mebela agama secara militan dan ini akan memunculan tindakan pengrusakan atau anarkisme terhadap kelompok lain.

Selain Alasan di atas, hal yang menjadi penyebab dari lahirnya tindakan kekerasan dalam diri pemeluk agama adalah: mengerti salah tentang ajaran agama sendiri. Di sini kebenaran ajaran agama dipahami secara keliru dan kurang mendalam atau dangkal. Pemahaman ini melahirkan sikap inklusivisme agama. Tidak mau bergaul dengan pemeluk agama yang lain karena menganggap yang lain sebagai agama yang tidak benar dan menganggap diri paling benar.

Inklusivisme agama seperti ini memandekan dan mengkerdilkan dialog. Dialog menjadi buntu dan akibatnya, tiap pemeluk agama membuat tembok untuk membentengi diri dari pengaruh dan pembauran dengan yang lain. Di sinilah sisi negatif dari inklusifisme agama itu. Orang akan curiga ada apa di balik ”tembok” inklusifisme itu? Kecurigaan melahirkan konflik dan anarkisme menjadi anak pinaknya.

Kalau demikian adanya, sinyalemen agama sebagai penebar ”kasih” menjadi selogan tanpa makna karena agama akan melahirkan Anarkisme dalam diri pemeluknya; padahal agama, apapun namanya pasti mengajarkan ”kasih” dan bukan anarkisme”.

Kembali kepada persoalan Ahmadyah yang kini mencuat ke ranah publik. Kini muncul pertanyaan, siapa yang paling bertanggungjawab terhadap pelbagai tindakan anarkis terhadap pengikut Mirza Ghulam Ahmad dari negeri India itu? Kini yang terjadi saling tuduh dan menuduh. Yang satu (Islam di Indonesia) mengklaim diri sebagai yang benar dan mengkafirkan Ahmadyah sehingga harus diluruskan. Sementara itu pengikut Ahmadyah kini dalam kebingungan, ”Ahmadiyah sudah ada di bumi persada ini puluhan tahun dan mereka mengakui diri sebagai ”Islam” dan bukan yang lain. Ini soal ”ormas” sama seperti NU, Muhamadyah dan yang lainya.

Fatwa MUI tentang keberadaan Ahmadyah sebagai yang ”sesat” menjadi perhatian kini. Namun fatwah tetap fatwa, Ahmadyah tetap menjalankan aktivitas keberagamaannya di tengah tekanan dari berbagai kalangan Islam untuk membubarkan Ahmadyah sebagai tindak lanjut dari fatwa MUI itu. Siapa yang bertanggungjawab terhadap tindakan anarkis sebagian kalangan yang mengatasnamakan Islam dalam tindakannya?

Patut direnungkan dan diselami bahwa kebebasan beragama memang dijamin penuh oleh konstitusi. Dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. (2) Mereka juga berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan dan menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Lalu dalam pasal 29 ayat (2), negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jaminan kebebasan ini bahkan dikukuhkan dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM).

Selanjutnya dalam UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Terhadap Hak-Hak Sipil dan Politik (pasal 18 ayat 1) juga disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Bahkan tidak seorang pun boleh dipaksa, sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Hak dan kebebasan Jemaat Ahmadyah Indonesia dalam memeluk keyakinan memang harus dihormati. Tetapi, di negara mana pun di muka bumi ini, tidak ada satu kebebasan pun yang bersifat absolut. Jadi atas nama kebebasan itu, tidak serta merta siapa pun juga boleh menjungkir-balikkan ajaran-ajaran baku agama.

titip rindu buat ayah

Ayah

Aku rindu parasmu

Aku ingat candamu

Senyummu

Tawamu yang unik

Keceriaanmu

Kesopananmu

Kepolosanmu

Kehadiranmu

Keseriusanmu

Keanggunanmu



Ayah

Kurindu

Sapaanmu

Sentuhan tangan lembutmu

Pancaran kebahagiaanmu

Rona matamu

Decak kagummu

Panggilanmu

"tuakmu"

"timpesmu"

Air kelapamu

Sapamu

Salammu

Gurauanmu



Ayah

U'r the best

My everithing

and my hero



Ayah

Superstar

Sutradara kehidupanku

Pemberani

Pemburu

Pantang menyerah

Jalan keluar

Segalanya

Setia

Dan sabar



Ayah

Kutulis ini

Sebagai sapa

Kutitip rindu buatmu

Lewat kata yang terucap

Karena

Kau terlampau jauh

Untuk digapai

Dan mendahului aku

Ke langit surga



Ayah

Doaku menyertaimu

AMIN.



Jakarta, 13 Maret 2009

Selasa, 10 Maret 2009

A'qu Lebih Memilih Q'Mu

Sungguh ......
Inikah namanya Kesungguhan
Tulus ......
Inikah namanya kejujuran
Bagus ......
Inikah namanya pujian
Wajar ......
Inikah namanya Canda
Perih ......
Inikah namanya Rasa

Diam ........
Inikah namanya sebel
Indah ..........
Inikah namaya seni
Q'mu ......
Inikah namanya sapa
A'qu ......
Inikah nama Q'mu

Kalau A'qu sama dengan Q'amu
Aqu lebih memilih Q'mu.

Jakarta, Rabu, 11 Maret 2009

*"Sandalisme"

Prabowo Subianto jujur ketika mengatakan, ”Sekarang saya jadi agak menyesal juga tidak melakukan kudeta.” Prabowo, calon presiden Partai Gerindra, mengucapkan pernyataan itu di kantor DPP-PPP, Senin (15/12).
Makin banyak yang buka mulut tentang masa lalu, makin terang benderanglah sejarah bangsa. Ingat slogan Bung Karno, ”Jas Merah” alias ”Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”?
Jangan ”menyapu sampah ke bawah karpet” seperti Jerman dan Jepang menyembunyikan aib Hitler dan fasisme Perang Dunia II. Pembelokan sejarah hanya menyuburkan kebodohan.
Sebelum Prabowo, BJ Habibie dan Wiranto angkat bicara tentang kerusuhan Mei 1998. Tak sedikit kalangan di Jakarta pada hari-hari penting itu mafhum ada indikasi percobaan kudeta.
Fakta itu membuktikan sejarah akrab dengan kekerasan. Wong mau merdeka saja sempat menculik Bung Karno dan Bung Hatta sehari sebelum 17 Agustus 1945.
Sejak saat itu kultur kekerasan bak jamur pada musim hujan. Bentuknya, pengkhianatan, pemberontakan, pembunuhan, kerusuhan, penculikan, dan pendongkelan.
Pengkhianatan sudah dimulai tahun 1948 di Madiun sampai 1965 di Jakarta. Bahkan, ada ”pengkhianatan mini” pada peristiwa 17 Oktober 1952 dan Penodaan Pancasila 1 Juni 2008 di Monas.
Ada pemberontakan RMS, Daud Beureuh, Kartosuwirjo, atau PRRI/Permesta. Anehnya, tiap pemerintah malah curiga dan cepat panik menghadapi ”pemberontakan” buruh dan mahasiswa prorakyat.
Pembunuhan beraneka, mulai dari eksekusi perseorangan sampai pembantaian. Ia tak cuma bersifat fisik, tetapi nonfisik, seperti pembunuhan kreativitas novel bagus, buku sejarah, atau film bermutu.
Kerusuhan menjadi menu favorit, baik versi yang disetel elite, seperti Malari 1974, maupun versi pascapilkada. Menu kerusuhan diakhiri hidangan penutup ”ganyang” kaum minoritas dan para pembela Bhinneka Tunggal Ika.
Penculikan bukan cuma dialami kedua Proklamator, tetapi juga jenderal, politisi, aktivis, sampai artis. Tiap tahun sejak medio 1950-an sampai 1965 selalu merebak rumor kudeta terhadap Bung Karno.
Nah, Wiranto berbicara tentang surat penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto tahun 1998. Prabowo agak menyesal tak mengudeta Presiden BJ Habibie.
Namun, kudeta tak seperti membalikkan telapak tangan. Akan terlalu banyak kalangan antikudeta di dalam maupun luar negeri.
Sejarah bak air sungai yang mengalir sesuai keinginannya sendiri. Sia-sia bagi siapa pun yang mencoba membendungnya walau masih mungkin bagi Anda nyemplung ke kali.
Mereka yang berminat pada kekuasaan tentu boleh bermimpi. Namun, mereka juga wajib mencamkan baik-baik pepatah vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Nah, aneka kekerasan akan absen jika semua pihak menjunjung tinggi demokrasi. Itu sebabnya rakyat berharap kepada calon-calon presiden—termasuk Prabowo—yang berminat memimpin negeri ini.
Apalagi, tahun depan pilpres berbenturan dengan tsunami ekonomi. Pilpres peluang bagi pemimpin untuk membuktikan diri menyelamatkan bangsa dari krisis multidimensi.
Rakyat akan memilih pemimpin yang rajin bekerja, bukan yang pandai bicara, apalagi kekecewaan rakyat, yang makin hari makin apatis, sudah sampai di leher alias nyaris tumpah jadi muntah.
Rakyat berhak memuntahkan rasa kecewa, termasuk melempari aneka benda. Budaya lempar tak ubahnya upacara yang sudah dikenal sejak dahulu kala.
Umat Muslim yang beribadah haji wajib melakukan lempar jumrah. Anda dipersilakan melempar koin di Fontana di Trevi, Roma (Italia), konon untuk mendapat jodoh atau kembali berkunjung ke Roma.
Orang Jepang melempar koin tiap Tahun Baru sebagai rasa syukur sambil mengharapkan berkah. Rakyat Chad kalau kecewa melempari pemimpinnya dengan sepasang celana.
Presiden AS George W Bush kena batunya, untung sepatu gagal mendarat di kepalanya. Itu pelajaran bagi pemimpin yang gemar ”melempar” kebohongan massal ke seluruh dunia.
Sang wartawan membuktikan sepatu lebih ampuh daripada pena. Para pengawal pribadi Bush lengah karena ngelamun membayangkan betapa lebih enaknya mengawal Presiden Barack Obama.
Bush mengaku bahagia karena akhirnya bisa membuktikan Irak memiliki foot wear of mass destruction (alas kaki pemusnah massal). Ia bangga karena mampu menghindari serangan shoe-icide bomber.
Banyak yang kagum kepada sang pelempar sepatu karena ia melakukan pelecehan—bukan kekerasan. Ia membuktikan sosok Bush lebih rendah dibandingkan sepatu yang melindungi kaki dari kotoran.
Dan, sang wartawan tidak bersikap ”melempar batu sembunyi tangan”. Banyak orangtua yang ingin menikahkan putri mereka dengan sang wartawan yang kini masih meringkuk di tahanan.
Tiap orang paham kekecewaan sang wartawan karena serbuan pasukan AS menewaskan 600.000 korban.
Saya bayangkan bagaimana jika sepasang sepatu itu diganti dengan sepasang sandal jepit yang terbuat dari karet. Toh, sandal karet takkan membuat kepala benjol. Dengan demikian, bisa dikatakan bukan kekerasan ala ”vandalisme”, hanya ”sandalisme” yang bersifat hiburan.
* Diambil dari harian Kompas "Sabtu, 20 Desember 2008 01:06 WIB

APA KABAR MANGGARAI BARAT

Manggarai Barat. Sebuah nama yang menyimpan sejuta makna buatku. Setidaknya, Manggarai Barat yang sebagai salah satu Kabupaten yang terdapat di Ujung Barat Pulau bunga itu kini menjadi incaran banyak orang. Pasalnya di sana ada "emas HIdup" binatang purba, Komodo yang kini tersohor di seantero jagat ini. Selain itu panorama alam tanah Mabar memikat hati dan menarim minat para infestor untuk menanamkan modal dan berinfestasi di sana. Namun, apa yang terjadi kini? Entahkah panorama dan keindahan panorama alam di bumi Mabar telah tertata dengan baik dan terurus dengan bijak?
Apa kabar Mabar”? Sebuah bentuk sapaan dari kejauhan. Tapi, berisi pesan yang menghentak situasi terdekat. Pasalnya, akhir-akhir ini, Mabar terkelepot tragis oleh pelbagai masalah pembangunan tanpa “happy ending”. Setiap tahun tergelayut perkara sama. Kualitas pembangunan bermutu rendah tapi mengucur uang banyak. Hasilnya belum terlalu menggembirakan!

Mulai dari masalah pengerjaan jalan raya, bangunan publik: ruko milik pemda, sekolah, rumah sakit sampai pada program pemberdayaan warga (singkong) berkualitas buruk dan asal-asalan. Ini masalah laten, unfinished bussines. Mutu rendah dan “kejar target proyek”. Bahkan sengaja “dibikin” mutu rendah supaya proyek berjalan terus. Extra income pun tergelontor terus.

Proyek pembangunan itu, menelan miliaran bahkan triliunan rupiah uang rakyat. Hanya, semuanya berakhir dengan cerita tragis. Rakyat tidak menikmatinya. Kalaupun dapat dinikmati, untuk sebentar saja, alias pelengkap sandiwara. Kita memang bukan berharap kualitas pembangunan berabad-abad. Karena, kualitas pembangunan seperti itu, hanya terjadi dalam kisah dongeng, film dan legenda.

Proyek pembangunan instan (serba asal-asalan) itu menjebaki kita sendiri dalam bisnis “gali lubang tutup lubang”. Sengaja bikin lobang, lalu dicari solusi tutup lubang. Terkesan proyek berlangsung meriah setiap tahun. Padahal, hasil pembangunan itu seperti hiburan gratis, senang sekejap dan hilang pula sekejap.

Padahal, kalau kita meletakan prinsip kualitas dari sekecil apapun jenis pembangunan daripada kuantitas maka kita tidak bakal menghamburkan uang untuk masalah yang sama. Katakan, soal pembangunan jalan raya, bangunan sekolah, rumah sakit, irigasi, dan lain-lain. Hari ini, jalan raya dibikin tuntas, maka selang beberapa bulan jalan yang sama rusak. Anggaran kembali dirancang.

Inilah mental pembangunan “kejar target-proyek” tapi mutu rendah. Siapa yang untung? Pebisnis dan “coboi gelapnya” yang begitu licik memanfaatkan uang rakyat atas nama proyek pembangunan sebagai ladang baru meraup untung. Setiap tahun rakyat dikibuli dan “dicongeh” oleh proyek instan seperti ini.

Masihkah kita punya asa meletakan kembali mutu pembangunan Mabar yang berbuntut masalah belakangan ini? Kira-kira apa dan bagaimana model pembangunan Mabar ke depan, yang bisa menjawabi kebutuhan bersama?

Membangun Mabar dengan mengandalkan kemampuan sendiri (PAD) pastilah tidak mungkin. Ini tidak mungkin karena realitas penduduk yang miskin. Akan tetapi membangun Mabar dengan memberdayakan potensi masyarakatnya pasti mungkin. Yang penting pemimpinnya jeli dan kreatif dalam mengelola human capital dan natural resouces yang ada.

Banyak orang berperspektif bahwa yang menjadi modal dan sekaligus entry point pembangunan Mabar ke depan adalah pembangunan dalam sektor pariwisata. Itu benar tapi bukan prioritas utama. Ini konsep pembangunan yang kandas, yang terpresepsi dan terusung lama oleh pemerintah lokal selama ini.

Drs. Petrus Salamin, MsocSc. dosen sekaligus pakar ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, dalam pertemuan lonto kilo (diskusi kekeluargaan) Forum Komunitas Komodo baru-baru ini di Jakarta menggagas tiga kunci pembangunan Mabar.

Pertama, pembangunan ekonomi kita mesti berprioritas pada sektor pertanian. Karena, dilihat dari sisi struktur ekonomi, sebagian besar penduduknya hidup berbasis pada pertanian (berladang, berternak, bersawah dan berkebun) maka tidaklah bombastis kalau sektor pertanian harus menjadi target dalam mewujudkan harapan akan perubahan dan kemajuan pembangunan Mabar.

Sebagaimana diketahui bahwa barometer keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah sejauh mana tingkat kemakmuran rakyat ditunjukkan oleh kemampuan daya beli masyarakat. Pembangunan yang berbasis pertanian sebenarnya sudah teruji ampuh dalam meningkatkan kemajuan suatu bangsa.

Contohnya adalah Inggris, Austria, Cina dan negara-negara Eropa lainya. Revolusi pertanian memberikan kemajuan bagi kemakmuran bangsa mereka. Paling kurang, kebutuhan perut terpenuhi. Strategi pembangunan ini bisa diterapkan di Mabar. Bukan pariwisata, seperti yang dipresepsikan oleh kebanyakan orang selama ini.

Kedua, pembangunan infrastruktur berkualitas. Infrastruktur ini menjadi penting selain pertanian; karena bagaimanapun poros kemajuan juga terukur dari seberapa arus barang dan sejauh mana infrastruktur menopang dan dekat dengan masyarakat. Akses ekonomi menjadi hal yang urgen untuk diperhatikan.

Pembangunan infrastruktur ini paling tidak harus menunjang sektor pertanian sebagai basis pembangunan. Gusra-gusru kegelisahan kualitas dan program pembangunan Mabar dalam beberapa tahun terakhir ini, seperti pembangunan jalan raya dan ruko yang ambruk serta proyek Ubi Aldira yang menghabiskan miliaran uang rakyat itu, harap tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Ini harus menjadi “value lesson” untuk pembangunan ke depan. Karena pemerintahan yang berhasil adalah pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan yang “prima” bagi warganya. Bukan asal-asalan alias setengah hati.

Ketiga, mendesain pendidikan ketrampilan yang dapat meningkatkan produktivitas ekonomi. Pendidikan adalah ibu dari kemajuan. Pola pikir masyarakat dan cara pandang masyarakat tentang pertanian atau melaut misalnya akan berubah kalau masyarakat tahu bagaimana bertani dan melaut dengan tidak bergantung cara konventional dan pada alam.

Hingga kini, petani dan nelayan di Mabar masih bergantung pada kemurahan alam dalam bertani. Cara pandang tentang pendidikan juga harus berubah. Memang susah untuk menghilangkan image masyarakat tentang pentingnya sekolah dan mengenyam pendidikan. Apalagi, biaya pendidikan sekarang mahal.

Pendidikan menjadi mahal karena ekonomi masyarakat tidak memadai atau dengan kata lain orang sulit melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena “miskin”. Tapi apa benar masyarakat kita itu benar-benar miskin? Apa kita miskin karena bodoh, atau sebaliknya kita bodoh karena miskin? Sebuah pertanyaan yang patut direnungkan.

Harapan masyarakat akan kemakmuran mesti ditunjang oleh pembangunan sektor pendidikan. Maka, pendidikan kita harus berorientasi pada keterampilan. Keterampilan sebagai sebuah pendekatan pendidikan ala “misi” misionaris SVD Belanda dulu. Oleh karena itu, mungkin kita perlu digiatkan lagi sekolah keterampilan seperti pertukangan, menjahit dan menenun serta melaut.

Untuk menunjang ini, kiranya pemerintah atau siapapun yang peduli akan pendidikan di Mabar ke depan harus lebih banyak membuka sekolah kejuruan yang bersinergi dengan kondisi demografis (modal) Mabar. Sekolah kejuruan dalam bidang pertanian dan kelautan serta kerajinan tangan mesti dibangun sekarang. Sehingga, output pendidikan dapat menyerap tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan lokal dan lebih bagus lagi dapat membuka lapangan kerja.

Jadi, menurut Petrus Salamin, alumni Birmingham University Inggris (1991), sekaligus putra asli Mabar bahwa ketiga poin di atas merupakan kunci peletakan dasar pembangunan Mabar saat ini. Hanya, apakah pemimpin sekarang memiliki strategi untuk itu? Sebab, di tangan pemimpinlah, kebijakan itu bermula. Kalau pemimpinya rakus dan ingat diri, maka mimpi “Mabar makmur” akan menjadi sia-sia. Yah...... bagai pungguk merindukan bulan!

Jumat, 06 Maret 2009

MIMPI

Mimpi. Ada apa dengan mimpi?????????
Kadang aku bertanya, kenapa manusia bisa bermimpi ketika tertidur lelap di malam hari. Mungkinkah mimpi di malam hari itu bisa dirancang?
Lain mimpi di malam hari lain juga “mimpi” sebagai sebuah impian atau cita-cita. "Mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukan dunia..." demikian kata Grup Band Nidji dalam “Laskar Pelangi”. Pertanyaan saya sederhana, Apa mimpi di malam hari bisa menjadi “kunci” untuk menaklukkan dunia........?????????? Hahahahahaha.... Gila kali... ya...???? Tanggapan Anda?

Jakarta, 07 Maret 2009

KUTULIS UNTUKMU

Cinta
Kutulis untukmu
Sebuah lirik
Seuntai kata
Kata penuh makna
Tentang arti sebuah rindu

Cinta
Kutulis untukmu
Sepenggal kata
Seindah doa
Doa dalam harapan
Tentang arti sebuah persahabatan

Cinta
Kutulis untukmu
Sebuah lirik Seindah simphoni
Simphoni dalam kensunyian
Tentang makna sebuah kehidupan

Cinta
Kutulis untukmu
Seberkas harapan
Seuntai ungkapan
Menggugah nurani
Sungguh I Love You

Jakarta, 26 Februari 2009