Kamis, 12 Maret 2009

MENAKAR DAMPAK LINGKUNGAN EKSPLORASI PERTAMBANGAN DI MANGGARAI BARAT

Beberapa bulan belakangan ini, berkembang polemik di masyarakat tentang perlu tidaknya mengeksplorasi / mengeksploitasi tambang di Manggarai Barat. Pihak yang pro pertambangan melihat ini sebagai suatu kesempatan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan memajukan perekonomian. Akan tetapi, pihak yang kontra melihatnya dari aspek yang lain, yakni dampaknya bagi lingkungan sosial dan lingkungan alam. Disadari atau tidak, kegiatan eksplorasi/eksploitasi tambang Berdampak ganda; membawa dampak positif dan negatif bagi masyarakat. Akan tetapi yang perlu dipikirkan adalah dampak atau efeknya terhadap kehidupan ekosistem alam dan generasi yang akan datang.

Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran sejauh mana eksplorasi / eksploitasi tambang itu membawa efek bagi kehidupan sosial dan lingkungan alam Manggarai Barat. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggugat atau menghakimi yang pro pertambangan dan memberi dukungan moril kepada kelompok yang kontra terhadap eksplorasi/eksploitasi tambang di Manggarai Barat. Tulisan ini memandangnya dari sudut pandang pengetahuan penulis dari hasil otak-atik saya melalui dunia maya. Walaupun bahan dasarnya diambil dari dunia maya, namun hasilnya saya rasa perlu untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil dan penentu kebijakan dan bagi masyarakat manggarai Barat.

Para pelaku bisnis pertambangan, pemerintah, dan para pengamat ekonomi sangat jeli dalam membingkai dan membungkus investasi pertambangan, baik tambang mineral maupun minyak dan gas. Mulai dari bungkus kepentingan devisa, penyediaan lapangan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, hingga bungkus mengurangi angka kemiskinan. “Framming” yang begitu sempurna, tapi betulkah industri pertambangan akan membawa kemakmuran bagi rakyat?Ada sebuah olok-olok yang kerap dilontarkan oleh kelompok pro pertambangan ketika menanggapi sikap kritis masyarakat yang menolak hadirnya industri pertambangan di daerahnya, kurang lebih begini, “Jika tak setuju dengan pertambangan, kembali saja ke zaman batu. Juga tak usah lagi menggunakan alat-alat yang menggunakan bahan dasar mineral”. Olok-olok ini mereka lakukan sebagai bunuh diri filsafat, atas ketidakmampuan mereka menjelaskan hubungan antara pertambangan dan kemakmuran rakyat yang sebenarnya tidak pernah berkorelasi positif.

Manggarai Barat tak lama lagi akan memasuki fase rezim industri tambang mineral atau rezim industri keruk. Tanda-tanda akan munculnya rezim industri tambang terutama mangan di Manggarai Barat telah tampak di depan mata. Setidaknya ini yang muncul ke permukaan dan menjadi bahan perbincangan masyarakat manggarai barat akhir-akhir ini. Industri pertambangan merupakan industri yang tidak berkelanjutan karena tergantung pada sumberdaya yang tidak terbarukan. Jika kemudian kelompok pro pertambangan begitu yakin bahwa industri tambang akan membawa kemakmuran. Bagaimana dengan dampak lingkungan yang akan di wariskan industri pertambangan, terutama setelah beroperasi?. Justru akan lebih memiskinkan masyarakat di sekitar areal pertambangan.

Pengelolaan lingkungan hidup dalam operasi pertambangan seharusnya meliputi keseluruhan fase kegiatan pertambangan tersebut, mulai dari fase eksplorasi, fase produksi, hingga pasca penutupan tambang. Belajar dari catatan operasi penutupan pertambangan yang dilakukan oleh PT Barisan Tropical Mining (milik Laverton Gold Australia) di Sumsel, PT Indo Moro Kencana (milik Aurora Gold Australia), PT Newmont Minahasa Raya (milik Newmont Amerika Serikat), PT Kelian Equatorial Mining (milik Rio Tinto Inggris-Australia). Seharusnya Manggarai Barat telah bersiap diri dan banyak belajar dari kasus-kasus pertambangan di wilayah lain di Indonesia.

Fenomena yang terjadi pada industri pertambangan di Indonesia, justru perusahaan tambang tersebut memiliki kekebalan untuk tidak mentaati aturan-aturan lingkungan hidup dan dapat dengan bebas melakukan pencemaran tanpa takut mendapatkan sanksi. Perilaku lainnya adalah praktik pembuangan limbah pertambangan dengan cara-cara primitif, membuang langsung limbah tailing ke sungai, danau, dan laut.

Industri pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam tambang (Acid Mine Drainage), dan Tailing.

Pertama, Lubang Tambang. Sebagian besar pertambangan di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.

Kedua, air asam tambang. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.

Ketiga, tailing. Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh mahluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan. Celakanya, tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan proses penutupan tambang secara benar dan bertanggungjawab. Kontrak karya pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi, dalam pikiran banyak pelaku industri ini adalah penghijauan atau penanaman pohon semata. Jauh panggang dari api.

Pemerintah Manggarai Barat tak ada salahnya belajar dari kasus-kasus dan potret pertambangan di wilayah lain dalam menghadapi invasi rezim industri keruk yang telah masuk ke Manggarai Barat. Investasi pertambangan tidak harus serta-merta dilihat dari dimensi ekonomis dengan mengabaikan persoalan lingkungan yang bersifat jangka panjang dan laten. Belajar dari banyak kasus hadirnya pertambangan di daerah yang miskin, kemakmuran bagi rakyat hanyalah ilusi, ditambah sebuah warisan jangka panjang bernama pencemaran lingkungan. Pertanyaannya, Akankah eksplorasi tambang di Bumi ”Congka Sae” tetap diLanjutkan? Semuanya ada di tangan pemerintah dan masyarakat Manggarai Barat yang mendiami tanah Manggarai Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar