Selasa, 10 Maret 2009

APA KABAR MANGGARAI BARAT

Manggarai Barat. Sebuah nama yang menyimpan sejuta makna buatku. Setidaknya, Manggarai Barat yang sebagai salah satu Kabupaten yang terdapat di Ujung Barat Pulau bunga itu kini menjadi incaran banyak orang. Pasalnya di sana ada "emas HIdup" binatang purba, Komodo yang kini tersohor di seantero jagat ini. Selain itu panorama alam tanah Mabar memikat hati dan menarim minat para infestor untuk menanamkan modal dan berinfestasi di sana. Namun, apa yang terjadi kini? Entahkah panorama dan keindahan panorama alam di bumi Mabar telah tertata dengan baik dan terurus dengan bijak?
Apa kabar Mabar”? Sebuah bentuk sapaan dari kejauhan. Tapi, berisi pesan yang menghentak situasi terdekat. Pasalnya, akhir-akhir ini, Mabar terkelepot tragis oleh pelbagai masalah pembangunan tanpa “happy ending”. Setiap tahun tergelayut perkara sama. Kualitas pembangunan bermutu rendah tapi mengucur uang banyak. Hasilnya belum terlalu menggembirakan!

Mulai dari masalah pengerjaan jalan raya, bangunan publik: ruko milik pemda, sekolah, rumah sakit sampai pada program pemberdayaan warga (singkong) berkualitas buruk dan asal-asalan. Ini masalah laten, unfinished bussines. Mutu rendah dan “kejar target proyek”. Bahkan sengaja “dibikin” mutu rendah supaya proyek berjalan terus. Extra income pun tergelontor terus.

Proyek pembangunan itu, menelan miliaran bahkan triliunan rupiah uang rakyat. Hanya, semuanya berakhir dengan cerita tragis. Rakyat tidak menikmatinya. Kalaupun dapat dinikmati, untuk sebentar saja, alias pelengkap sandiwara. Kita memang bukan berharap kualitas pembangunan berabad-abad. Karena, kualitas pembangunan seperti itu, hanya terjadi dalam kisah dongeng, film dan legenda.

Proyek pembangunan instan (serba asal-asalan) itu menjebaki kita sendiri dalam bisnis “gali lubang tutup lubang”. Sengaja bikin lobang, lalu dicari solusi tutup lubang. Terkesan proyek berlangsung meriah setiap tahun. Padahal, hasil pembangunan itu seperti hiburan gratis, senang sekejap dan hilang pula sekejap.

Padahal, kalau kita meletakan prinsip kualitas dari sekecil apapun jenis pembangunan daripada kuantitas maka kita tidak bakal menghamburkan uang untuk masalah yang sama. Katakan, soal pembangunan jalan raya, bangunan sekolah, rumah sakit, irigasi, dan lain-lain. Hari ini, jalan raya dibikin tuntas, maka selang beberapa bulan jalan yang sama rusak. Anggaran kembali dirancang.

Inilah mental pembangunan “kejar target-proyek” tapi mutu rendah. Siapa yang untung? Pebisnis dan “coboi gelapnya” yang begitu licik memanfaatkan uang rakyat atas nama proyek pembangunan sebagai ladang baru meraup untung. Setiap tahun rakyat dikibuli dan “dicongeh” oleh proyek instan seperti ini.

Masihkah kita punya asa meletakan kembali mutu pembangunan Mabar yang berbuntut masalah belakangan ini? Kira-kira apa dan bagaimana model pembangunan Mabar ke depan, yang bisa menjawabi kebutuhan bersama?

Membangun Mabar dengan mengandalkan kemampuan sendiri (PAD) pastilah tidak mungkin. Ini tidak mungkin karena realitas penduduk yang miskin. Akan tetapi membangun Mabar dengan memberdayakan potensi masyarakatnya pasti mungkin. Yang penting pemimpinnya jeli dan kreatif dalam mengelola human capital dan natural resouces yang ada.

Banyak orang berperspektif bahwa yang menjadi modal dan sekaligus entry point pembangunan Mabar ke depan adalah pembangunan dalam sektor pariwisata. Itu benar tapi bukan prioritas utama. Ini konsep pembangunan yang kandas, yang terpresepsi dan terusung lama oleh pemerintah lokal selama ini.

Drs. Petrus Salamin, MsocSc. dosen sekaligus pakar ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, dalam pertemuan lonto kilo (diskusi kekeluargaan) Forum Komunitas Komodo baru-baru ini di Jakarta menggagas tiga kunci pembangunan Mabar.

Pertama, pembangunan ekonomi kita mesti berprioritas pada sektor pertanian. Karena, dilihat dari sisi struktur ekonomi, sebagian besar penduduknya hidup berbasis pada pertanian (berladang, berternak, bersawah dan berkebun) maka tidaklah bombastis kalau sektor pertanian harus menjadi target dalam mewujudkan harapan akan perubahan dan kemajuan pembangunan Mabar.

Sebagaimana diketahui bahwa barometer keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah sejauh mana tingkat kemakmuran rakyat ditunjukkan oleh kemampuan daya beli masyarakat. Pembangunan yang berbasis pertanian sebenarnya sudah teruji ampuh dalam meningkatkan kemajuan suatu bangsa.

Contohnya adalah Inggris, Austria, Cina dan negara-negara Eropa lainya. Revolusi pertanian memberikan kemajuan bagi kemakmuran bangsa mereka. Paling kurang, kebutuhan perut terpenuhi. Strategi pembangunan ini bisa diterapkan di Mabar. Bukan pariwisata, seperti yang dipresepsikan oleh kebanyakan orang selama ini.

Kedua, pembangunan infrastruktur berkualitas. Infrastruktur ini menjadi penting selain pertanian; karena bagaimanapun poros kemajuan juga terukur dari seberapa arus barang dan sejauh mana infrastruktur menopang dan dekat dengan masyarakat. Akses ekonomi menjadi hal yang urgen untuk diperhatikan.

Pembangunan infrastruktur ini paling tidak harus menunjang sektor pertanian sebagai basis pembangunan. Gusra-gusru kegelisahan kualitas dan program pembangunan Mabar dalam beberapa tahun terakhir ini, seperti pembangunan jalan raya dan ruko yang ambruk serta proyek Ubi Aldira yang menghabiskan miliaran uang rakyat itu, harap tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Ini harus menjadi “value lesson” untuk pembangunan ke depan. Karena pemerintahan yang berhasil adalah pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan yang “prima” bagi warganya. Bukan asal-asalan alias setengah hati.

Ketiga, mendesain pendidikan ketrampilan yang dapat meningkatkan produktivitas ekonomi. Pendidikan adalah ibu dari kemajuan. Pola pikir masyarakat dan cara pandang masyarakat tentang pertanian atau melaut misalnya akan berubah kalau masyarakat tahu bagaimana bertani dan melaut dengan tidak bergantung cara konventional dan pada alam.

Hingga kini, petani dan nelayan di Mabar masih bergantung pada kemurahan alam dalam bertani. Cara pandang tentang pendidikan juga harus berubah. Memang susah untuk menghilangkan image masyarakat tentang pentingnya sekolah dan mengenyam pendidikan. Apalagi, biaya pendidikan sekarang mahal.

Pendidikan menjadi mahal karena ekonomi masyarakat tidak memadai atau dengan kata lain orang sulit melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena “miskin”. Tapi apa benar masyarakat kita itu benar-benar miskin? Apa kita miskin karena bodoh, atau sebaliknya kita bodoh karena miskin? Sebuah pertanyaan yang patut direnungkan.

Harapan masyarakat akan kemakmuran mesti ditunjang oleh pembangunan sektor pendidikan. Maka, pendidikan kita harus berorientasi pada keterampilan. Keterampilan sebagai sebuah pendekatan pendidikan ala “misi” misionaris SVD Belanda dulu. Oleh karena itu, mungkin kita perlu digiatkan lagi sekolah keterampilan seperti pertukangan, menjahit dan menenun serta melaut.

Untuk menunjang ini, kiranya pemerintah atau siapapun yang peduli akan pendidikan di Mabar ke depan harus lebih banyak membuka sekolah kejuruan yang bersinergi dengan kondisi demografis (modal) Mabar. Sekolah kejuruan dalam bidang pertanian dan kelautan serta kerajinan tangan mesti dibangun sekarang. Sehingga, output pendidikan dapat menyerap tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan lokal dan lebih bagus lagi dapat membuka lapangan kerja.

Jadi, menurut Petrus Salamin, alumni Birmingham University Inggris (1991), sekaligus putra asli Mabar bahwa ketiga poin di atas merupakan kunci peletakan dasar pembangunan Mabar saat ini. Hanya, apakah pemimpin sekarang memiliki strategi untuk itu? Sebab, di tangan pemimpinlah, kebijakan itu bermula. Kalau pemimpinya rakus dan ingat diri, maka mimpi “Mabar makmur” akan menjadi sia-sia. Yah...... bagai pungguk merindukan bulan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar