Kamis, 12 Maret 2009

Agamaku agama kasih

Akhir-akhir ini tindakan kekerasan yang berlatarkan agama sebagai benih konflik mulai terkuak lagi di bumi persada. Setidaknya, kasus Ahmadiah yang hingga kini belum menuai titik terang telah menimbulkan gesekan dan kekisruhan di tengah masyarakat, khususnya di kalangan Islam. Namun sebenarnya, apa yang dicari atau apa yang mau dipecahkan dalam persoalan ini?

Yang aku tahu, agama tidak mengajarkan kekerasan, demikianjuga ia tidak mengajarkan pemeluknya untuk saling mencemooh dan melukai satu sama lain. Apalagi agama Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Kristen yang diabsahkan keberadaanya di bumi persada, Indonesia. Lalu apa yang membuat orang bertindak brutal kepada sesamanya; padahal kalau ditilik dari sudut dan kaca mata manapun, manusia adalah makhluk beradab yang menghargai dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya.

Keberadaan manusia sebagai makhluk beragama dan makhluk beradab sudah dibuktikan sebagai penegak moral manusia dari masa ke masa. Seandainya agama itu rekaan dan rekayasa manusia, jelas keberadaan agama-agama itu di tengah kegermelapan dunia modern sudah hancur dan punah; namun kenyataannya agama tumbuh dan masih tetap diminati makhluk ciptaan yang bertitel ”Manusia” di Pelanet bumi ini.

Kasih adalah segalanya dalam agama, apalagi dalam agama Katolik ataupun protestan yang mengidolakan Yesus Kristus sebagai tokoh sentralnya. Agama Islam sebagai agama samawi menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai tokoh sentral mengajarkan kasih walau dalam bahasa dan cara yang berbeda tidak menginginkan kekerasan; dalam hal Jihad pun, kekerasan tidak boleh menjadi pilihan utama. Jihad yang sesungguhnya adalah jihad melawan diri sendiri untuk menguasai dan mengendalikan diri dan bertindak adil dengan yang lain. Agama Hindu mengajarkan aksi tanpa kekerasan dan menghormati ciptaan yang lain. ”Wei wu wei” Aksi tanpa kekerasan sebagaimana diteladani Gandhi, tokoh fenomenal dari negeri India. Agama Buddha yang menempatkan sang Budha Gautama sebagai tokoh sentralnya juga mengajarkan Kasih dan penguasan diri. Singkatnya, tiada satu agama dan ajaranya tidak mengajarkan Kasih atau membenarkan tindakan anarkis.

Lalu, apa yang membuat orang lupa mengejawantahkan ajaran agama yang mulia, yaitu ”kasih” dengan membiarkan ”kekerasan” muncul? Kembali kepada fitra manusia. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki dan inilah ”dosa” manusia yang membedakannya dengan malaikat sebagaimana di ikhtiarkan dalam agama Islam.

Ada beberapa alasan mengapa agama menjadi factum primum kekerasan: pertama, adanya pemahaman yang sempit tentang agama sendiri atau keyakinan agama sendiri. Di sini pemeluk agama meyakini secara ”berlebihan” bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar dan memandang rendah keyakinan agama dari pemeluk agama yang lain dengan mengkafirkan yang lain. Pandangan ini memunculkan beberapa pandangan ekstrim, antara lain: Fundamentalisme agama dan garis keras dalam agama. Di sini, militansi dan apologia teoretis terhadap keyakinan agamanya menjadi yang paling benar. Dengan demikian, penistaan terhadap ”kebenaran” ini menimbulkan luka di hati pemeluknya. Luka akibat ”rasa” penistaan inilah yang melahirkan ”niat” untuk mebela agama secara militan dan ini akan memunculan tindakan pengrusakan atau anarkisme terhadap kelompok lain.

Selain Alasan di atas, hal yang menjadi penyebab dari lahirnya tindakan kekerasan dalam diri pemeluk agama adalah: mengerti salah tentang ajaran agama sendiri. Di sini kebenaran ajaran agama dipahami secara keliru dan kurang mendalam atau dangkal. Pemahaman ini melahirkan sikap inklusivisme agama. Tidak mau bergaul dengan pemeluk agama yang lain karena menganggap yang lain sebagai agama yang tidak benar dan menganggap diri paling benar.

Inklusivisme agama seperti ini memandekan dan mengkerdilkan dialog. Dialog menjadi buntu dan akibatnya, tiap pemeluk agama membuat tembok untuk membentengi diri dari pengaruh dan pembauran dengan yang lain. Di sinilah sisi negatif dari inklusifisme agama itu. Orang akan curiga ada apa di balik ”tembok” inklusifisme itu? Kecurigaan melahirkan konflik dan anarkisme menjadi anak pinaknya.

Kalau demikian adanya, sinyalemen agama sebagai penebar ”kasih” menjadi selogan tanpa makna karena agama akan melahirkan Anarkisme dalam diri pemeluknya; padahal agama, apapun namanya pasti mengajarkan ”kasih” dan bukan anarkisme”.

Kembali kepada persoalan Ahmadyah yang kini mencuat ke ranah publik. Kini muncul pertanyaan, siapa yang paling bertanggungjawab terhadap pelbagai tindakan anarkis terhadap pengikut Mirza Ghulam Ahmad dari negeri India itu? Kini yang terjadi saling tuduh dan menuduh. Yang satu (Islam di Indonesia) mengklaim diri sebagai yang benar dan mengkafirkan Ahmadyah sehingga harus diluruskan. Sementara itu pengikut Ahmadyah kini dalam kebingungan, ”Ahmadiyah sudah ada di bumi persada ini puluhan tahun dan mereka mengakui diri sebagai ”Islam” dan bukan yang lain. Ini soal ”ormas” sama seperti NU, Muhamadyah dan yang lainya.

Fatwa MUI tentang keberadaan Ahmadyah sebagai yang ”sesat” menjadi perhatian kini. Namun fatwah tetap fatwa, Ahmadyah tetap menjalankan aktivitas keberagamaannya di tengah tekanan dari berbagai kalangan Islam untuk membubarkan Ahmadyah sebagai tindak lanjut dari fatwa MUI itu. Siapa yang bertanggungjawab terhadap tindakan anarkis sebagian kalangan yang mengatasnamakan Islam dalam tindakannya?

Patut direnungkan dan diselami bahwa kebebasan beragama memang dijamin penuh oleh konstitusi. Dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. (2) Mereka juga berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan dan menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Lalu dalam pasal 29 ayat (2), negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jaminan kebebasan ini bahkan dikukuhkan dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM).

Selanjutnya dalam UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Terhadap Hak-Hak Sipil dan Politik (pasal 18 ayat 1) juga disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Bahkan tidak seorang pun boleh dipaksa, sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Hak dan kebebasan Jemaat Ahmadyah Indonesia dalam memeluk keyakinan memang harus dihormati. Tetapi, di negara mana pun di muka bumi ini, tidak ada satu kebebasan pun yang bersifat absolut. Jadi atas nama kebebasan itu, tidak serta merta siapa pun juga boleh menjungkir-balikkan ajaran-ajaran baku agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar