Selasa, 03 November 2009

Kutulis untukmu kesatria bangsa

By: Romald Kahardi

Kutulis untukmu
Wahai kesatria bangsa
pengaman masyarakat
besarkan hatimu
pantangkan kilafmu
bangun kekuatanmu
'tuk buktikan kebenaran

Kutulis untukmu
bagimu kusuma bangsa
mekarkan senyummu
bangkitkan kesadaran
'tuk bela kebenaran

hari masih pagi
tak ada yang terlambat
Badi jalanan menghadang
parlemen jalanan berkaca
berteriak gelisah

Kutulis untukmu

dipundakmu
kugantungkan harapan
bahwa
HUkum adalah jalanya
di sana kebenaran berbicara
Selamat bertugas kesatriaku
kesatria pertiwi

Senin, 02 November 2009

Language learning is like falling in love

By: Romald Kahardi

Language learning is like falling in love. In fact you have to be in love to learn a language well. I mean in love with the language. You have to have a love affair with the language. You do not have to marry the language. You can have an affair and then move on to another language after a period of time. But while you are learning the language you have to be in love with it. And you will learn faster if you are faithful to the language while you are studying it.

Just as when you are in love, you want to and need to spend as much time as possible with the object of your love. You want to hear its voice and read its thoughts. You want to learn more about it, the many words and phrases that it uses to express itself. You think of the language wherever you are. You start to observe the object of your love closely. You notice all the little things it does, you become familiar with its peculiar behaviour patterns. You breathe it. You hear its voice. You feel it. You get to know it better and better, naturally.
Just as in a love affair, there are things about the object of your love that you do not like. You ignore these. You only think about the things that you love. You do not question the object of your love. You just accept it. You do not ask why. You do not ask why it behaves a certain way. You do not seek to understand the secrets to its structure. You just want to be with it, and even to imitate it, the highest form of appreciation.

Loving a language is a one-sided love affair. You love the language. It does not love you back. But the good thing is that it is not jealous of you, of your other previous love affairs. It really does not care if you carry on another love affair at the same time. But, as with people, doing so can create problems…..The language does not criticize you. You can use it however you want, as long as you enjoy yourself.

You are not jealous of other people who love the language you love. In fact you like to meet people who love the language you love. It is a lot less bothersome to love a language than to love a person, Because the love of the language is its own reward. You do not care what the language thinks of you. You are enjoying your affair with the language and do not expect anything in return. As long as you have that relationship, you will learn and improve in the language.

If you just use a language without loving it, you will not improve. If the goal is only to get a better job, or to pass a test, you will not improve. People are the same way. You cannot have a love affair with someone just to get a better job, although………. This has been my approach. So when I learn a language I spend most of my initial time just listening and reading and building up my words and phrases. I just want to get to know the language, enjoy its personality and get used to it. I do not want anyone to question me, or explain my love to me. I do not want to speak in the language before I have really gotten to know the language, because I know that I will not do justice to my love. I only speak in the language when I want to, when I am ready

Rabu, 28 Oktober 2009

Tolak Tambang, Geram Usung Peti Mati

Catatan: Tulisan ini diambil dari harian Flores Pos, Saya tidak merubah sedikitpun.
Tulisan sesuai dengan aslinya, "Tolak Tambang, Geram Usung Peti Mati"
* Desak DPRD Mabar Gunakan Hak Angket

Oleh Andre Durung
Labuan Bajo, Florespos.com - Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) Flores-Lembata kembali berunjuk rasa tolak tambang di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Selasa (27/10). Kali ini nuansanya sedikit berbeda. Para pendemo mengusung sebuah peti mati dan menggelar ritus adat menyembelih seekor ayam hitam. Ketua Geram Florianus Suryon mengenakan pakaian adat Manggarai. Dalam aksinya, Geram melakukan pawai menuju gedung DPRD, kantor bupati, dan mapolres.

Mereka menggelar poster dan spanduk, berorasi, dan membacakan pernyataan sikap. Pada spanduk, tertulis: ”Tangkap para pejabat dan investor tambang perusak hutan lindung di Tebedo RTK 108 dan alih fungsi tata ruang wilayah Batu Gosok menjadi wilayah tambang emas”.

Spanduk lain: ”Berduka atas matinya saudara kita hutan lindung Tebedo RTK 108 oleh hantu tambang”. Hak Angket Pantauan Flores Pos, dari lapangan bola kaki Kampung Ujung, massa geram menuju gedung DPRD sambil mengusung peti mati berbalut kain hitam, lengkap dengan krans bunga bertuliskan antara lain ”Oh…Hutanku”.

Di gedung dewan, mereka tidak masuk ruangan. Mereka hanya berorasi di halaman dan membacakan pernyataan sikap. Antara lain, mendesek dewan menggunakan hak angket. Ini perlu dilakukan DPRD Mabar jika benar keberadaan mereka merupakan representasi rakyat Mabar dan jika sungguh keberadaan mereka berpihak pada rakyat. Selama ini, kata geram, DPRD terkesan hanya bisa bicara berpihak pada rakyat.

Menanggapi desakan pendemo, Wakil Ketua Sementara DPRD Mabar Pasir Yohanes menyatakan terima kasih dan berjanji akan membahasnya di dewan. “Soal hak angket, kita akan bahas nanti bersama agenda lain, setelah pelantikan pimpinan dewan difinitif. Mungkin kita akan minta teman-teman. Terima kasih atas aspirasi Geram. Selamat berjuang,” kata Pasir disambut tepuk tangan pendemo.

Pertemuan yang juga dihadiri sejumlah wakil rakyat itu berlangsung di pintu masuk gedung. Peti mati dan sejumlah krans bunga diletakkan sejenak di situ hingga pertemuan selesai. Dalam orasinya, Florianus Suryon alias Fery Adu mengatakan, peti mati yang mereka usung merupkan simbol kematian hukum dan keadilan di Mabar.

Rakyat kecil potong satu dua batang pohon, langsung ditangkap dan dibui. Sedangkan penguasa dan pengusaha yang merusak hutan lindung di Tebedo dan menggaruk bukit di Batu Gosok untuk eksplorasi tambang emas tidak ditangkap dan tidak dibui. Ini tidak adil Orator lain, Kornelis Rahalaka, menyatakan kecewa karena dalam demo kali ini Geram kembali gagal bertemu Bupati Wilfridus Fidelis Pranda. Bupati lagi-lagi sedang tidak berada di tempat. Sikap Resmi GerejaDari gedung dewan geram menuju kantor bupati. Juga sambil mengusung peti mati. Di sana mereka berjemur di panas terik di halaman kantor. Mereka berorasi. Rm. Robert Pelita Pr dalam orasinya mengatakan, ia dan rekan-rekan imam bergabung dengan Geram untuk tolak tambang karena ini merupakan sikap resmi Gereja Lokal Keusukupan Ruteng. Sejak Mei 2009, kata Rm Robert, Keuskupan Ruteng sudah secara resmi menolak kehadiran tambang di Manggarai Raya, yang meliputi Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Sikap resmi Gereja ini sudah dikirim kepada ketiga pemkab.

Fery Adu dalam orasinya menyatakan kecewa berat karena kali ini Geram lagi-lagi gagal bertemu Bupati Wilfridus Fidelis Pranda. “Ini sudah sekian kalinya.” Wakil Bupati Agustinus Ch. Dula saat itu juga dikabarkan sedang tidak berada di tempat.

Di halaman kantor ini, para pendemo melakukan ritus adat, menyembelih ayam hitam, sambil menyanyikan lagu, ”Indonesia tanah air beta ....” Mereka juga memberi uang duka (seng wae lu’u) yang diletakkan di atas peti mati. Di atas peti itu, mereka letakkan pula pernyataan sikap. Sebab, mereka gagal bertemu pejabat pemkab.

Peti mati, krans bunga, dan ayam korban mereka ’semayamkan abadi’ di halaman kantor bupati. Dukung Polres Dari halaman kantor bupati, pendemo menuju mapolres seraya menyanyikan lagu perjuangan ”Maju Tak Gentar”. Mereka memberi dukungan moril kepada polres karena saat ini proses hukum kasus tambang di Mabar, baik Tebedo maupun di Batu Gosok, sedang berjalan. Mereka diterima Kabag MIN Polres Mabar I Ketut Sumendra di gerbang masuk.

Kapolres AKBP Samsuri dan Wakil Kapolres Kompol Beny Hutajulu sedang tidak berada di tempat. Geram menyerahkan pernyataan sikap. Ketut Sumendra mengucapkan terima kasih atas kunjungan dan pernyataan sikap. Dari mapolres, Geram kembali ke posko. Demo ini dikawal ketat aparat polres. Aksi di halaman gedung DPRD dan halaman kantor bupati disaksikan banyak warga masyarakat

Alasan Tolak Tambang Geram Flores Lembata menolak pertambangan emas di Mabar, khusus di wilayah Batu Gosok dan Tebedo, karena berbagai alasan, sebagaimana diungkap dalam pernyataan sikap saat demo.

Pertama, aktivitas pertambangan di wilayah Tebedo, Desa Pota Wangka, Kecamatan Boleng, masuk dalam kawasan hutan lindung RTK 108. Sementara kegiatan eksplorasi tambang di Batu Gosok, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang wilayah yang di atur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 30/ 2005 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Mabar yaitu untuk pariwisata komersial.

Kedua, prosedur pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dimaksud tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam Perda Mabar No. 27 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum. Lokasi eksplorasi tambang Batu Gosok terletak di atas kawasan bukit dengan kemiringan lebih dari 40 derajat yang seharusnya menjadi kawasan konservasi.

Wilayah izin lokasi eksplorasi tambang Batu Gosok merupakan kawasan pesisir yang dikelilingi oleh ekosistem pesisir yang sangat penting. Seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang harus dilindungi. Dan lokasi eksplorasi tambang Tebedo masuk dalam kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai kawasan endapan air dan kawasan penyangga bagi hutan Mbeliling.

Ketiga, dampak lingkungan dan sosial akibat eksplorasi tambang di Batu Gosok dan Tebedo belum dibuat sepenuhnya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Untuk pertambangan Batu Gosok, terjadi pelanggaran pemanfaatan tata ruang kegiatan eksplorasi tambang dengan aktivitas pariwisata dan usaha perikanan/nelayan di dalam kawasan.

Geram mengimbau seluruh komponen masyarakat Mabar, Manggarai, Manggarai Timur serta masyarakat Flores dan Lembata, baik yang berdomisili di Flores-Lembata maupun yang berkarya di luar Flores-Lembata untuk bersama-sama melakukan gerakan perlawanan terhadap kebijakan pertambangan.

Sikap perlawanan dimaksud akan membantu menyelamatkan bumi/alam Flores-Lembata dari kehancuran. Pernyataan sikap Geram yang ditandatangani Ketua Geram Flores-Lembata Florianus Suryon dan Korlap/Sekjen Geram Flores-Lembata Cheluz Pahun. ***

Selasa, 27 Oktober 2009

Satu Nusa Satu bangsa Satu bahasa

By: Romald Kahardi

"Satu nusa satu bangsa satu bahasa kita, tanah air pasti jaya untuk selama-lamanya; Indonesia pusaka, Indonesia tercinta, Nusa bangsa dan bahasa kita bela bersama......" Demikian lirik lagu satu nusa satu bangsa karangan L. Mnik yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kita menyanyikan lagu ini sejak kita duduk di bangku TK, SD, SMP, SMA dan seterusnya...... Hingga kini lagu itu sudah mendarah daging dalam diri kita. Walaupun demikian, pernahkah kita merefleksikan sejenak tentang makna dari penggalan lirik lagu karangan L. Manik ini?

Hari ini kita merayakan hari sumpah pemuda. Hari dimana kita memperingati perjuangan kawula muda tempoe dulue (28 oktober 1928) yang dengan gagah berani dan lantang memproklamirkan sumpah setia mereka kepada Bangsa, yaitu bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku agama dan ras serta kebudayaan, yang saat itu masih dalam tekanan dan kungkungan penjajah; namun mereka kaum muda tampil dengan berani untuk bersumpah, ” SATU NUSA SATU BANGSA dan SATU BAHASA, yaitu INDONESIA.

Kini dalam situasi dan suasana yang berbeda di alam kemerdekaan kita merayakan dan memperingati moment bersejarah ini. Masihkah rasa kebangsaan dan keIndonesiaan kita melekat dihati segenap insan pertiwi negeri ini? Sebuah pertanyaan yang patut untuk direnungkan dan dimaknai.

Pemuda di seantero jagad raya ini memiliki dinamika yang khas. Kadar spiritualitasnya murni dan memancarkan energi pencerahan luar biasa. Ketika kebanyakan orang asyik dengan diri sendiri, mereka tampil di barisan terdepan dalam kesatuan aksi pembaruan yang cenderung radikal. Itulah yang terjadi saat Pemuda Indonesia bersumpah untuk (selamanya) satu bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia.

Dalam konteks kekinian, ketika revolusi teknologi informasi telah melintas batas teritorial yang secara tradisional dinyatakan sebagai milik suatu bangsa dan kebanyakan warganya asyik dengan (kepentingan) diri sendiri (dan kroninya), ada satu pertanyaan yang perlu dimajukan. Masih relevankah memegang teguh Sumpah Pemuda sebagai titik tumpu pencerahan dan pembaruan sikap hidup bersatu dalam bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia ?

Memajukan derajat kehidupan bangsa dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas diri kita masing-masing. Karena setiap orang punya potensi yang dapat dikembangkan untuk mencapai kapasitas itu. Jika setiap anak bangsa memberikan satu langkah ke depan, bisa dibayangkan betapa lapang jalan yang dapat kita lalui bersama untuk mengatasi krisis multisdimensional saat ini. Menghargai keanekaragaman dalam kancah negara kesatuan indonesia adalah salah satu bentuk apresiasi dan pemaknanaan Sumpah pemuda dalam hal ”SATU NUSA SATU BANGSA.”

Lalu bagaimana dengan SATU BAHASA? Mengapresiasi bahasa Indonesia tidak harus diwujudkan dalam bentuk ekstrim semisal menolak pemakaian bahasa asing dan lokal sebagai media komunikasi verbal, bahasa pengantar dan sejenisnya. Atau juga denganb melakukan parade baca puisi dan berbalas pantun setiap hari. Penting dicatat bahwa memelihara kelenturan sikap dalam ber-Bahasa Indonesia justru akan menjadi faktor pengaya dalam kebhineka tunggal ika-annya. Tentu, perlu ada aturan baku sebagai acuan utama dalam mengupayakan pengayaan itu. Selain menjadi pengatar, Bahasa Indonesia sangat perlu dikembangkan sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Ini adalah bukti penghargaan kita terhadap Bahasa Indonesia dalam menjiwai makna ”SATU BAHASA.”

Karena itu, peringatan hari SUMPAH PEMUDA hendaknya menjadi moment untuk merefleksikan kesadaran jati diri kita sebagai anak bangsa yang bertanah air satu, tanah air Indonesia, dan berbangsa satu bangsa Indonesia serta bangsa yang memiliki satu bahasa persatuan, yaitu: bahasa Indonesia. MERDEKA!

Senin, 26 Oktober 2009

MEMAKNAI HIDUP DENGAN BELAJAR (Belajar dari Konfucius)

By: Romald Kahrdi

Belajar adalah salah satu bentuk aktivitas manusia untuk memberikan arti dalam hidup atau untuk memaknai hidup dan kehidupan di dunia ini. Belajar sebagai salah satu bentuk aktivitas ini bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Ada yang belajar sesuatu dari pengalaan semata; tetapi juga ada yang melaksanakan aktivitas belajar itu melalui pendidikan di sekolah. Sejak dalam kandungan ibu, sebenarnya manusia sudah mulai belajar. Belajar untuk menyesuaikan diri dengan kondisi rahim sang ibu. Hal ini dilanjutkan ketika seorang anak manusia lahir ke bumi. Pengalaman eksistensial sebagai pengalaman perdana di dunia nyata adalah pengalaman belajar yang diperoleh dari dekapan sang ibu. Dari sini belajar sebagai aktivitas sesungguhnya terjadi.

Aktivitas belajar membuat manusia bertemu dengan ciptaan Tuhan yang lain, terlebih berhadapan dengan manusia sebagai sesamanya. Kebijaksanaan diperoleh melalui pengalaman belajar. Melalui aktivitas belajar pula manusia mengasah dan menghidupi kepribadiannya. Sebagai mana kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya campurtangan dari yang lain.

Walaupun manusia bisa belajar dari pengalaman hidupnya untuk bisa berkembang, namun dalam peziarahan hidupnya Ia masih membutuhkan pengalaman belajar melalui jalur pendidikan. Setidaknya ada empat unsur utama yang menjadi dasar untuk belajar memaknai hidup dalam kehidupan ini. Keempat unsur itu antara lain: belajar untuk mengasah kemampuan intelektualitas, belajar untuk mencintai, belajar untuk mengasah kepekaan solidaritas dengan sesama dan belajar untuk menghargai kehidupan moralitas-etika. Keempat unsur ini tidak dapat dikesampingkan perannya dalam mewujudkan pendidikan yang ideal bagi kemanusiaan.
Keempat unsur ini sebenarnya sejalan dengan tujuan aktivitas belajar manusia seturut pandangan UNESCO (United States of Educational Scientical and Cultural Organization), yaitu: Learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.

Learning to know berkaitan dengan logos, (belajar untuk mengasah intelektualitas.) Learning to do adalah eros (mengasah kepekaan untuk mencintai sesama.) Learning to be berkaitan dengan Ethos dan learning together adalah pathos dimana rasa kebersamaan dan keprihatinan bertumbuh.

Confucius yang dianggap sebagai guru pertama dalam sejarah Tiongkok, telah menyiratkan konsep yang mengarah kepada empat tujuan belajar menurut UNESCO di atas.
Menurut UNESCO, Learning to know adalah belajar untuk mengetahui. Di sini tujuan pertama dari aktivitas belajar manusia adalah untuk memperoleh pengetahuan yang benar, sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya. Confucius pun berpandangan bahwa hakekat manusia adalah baik. Ia juga menekankan bahwa salah satu alasan utama orang menjadi tidak baik adalah karena ketidaktahuan. Maka bertentangan dengan Daoisme yang berpandangan bahwa pengetahuan merusak kemanusiaan yang baik, Confucius justru mengajarkan agar orang terus belajar dan mencari pengetahuan seluas-luasnya. Konsep Confucius ini diterapkan secara luas dengan memberi tempat yang kuat bagi seni, puisi, sastra, dan bahkan tradisi demi mengimbangi ajaran filsafatnya. Seni menjadi sarana hiburan batiniah yang sekaligus menyeimbangkan keutuhan manusia. Atau dengan kata lain pengetahuan yang dipikirkan Confucius memang tidak hanya sebatas ilmu rasional tetapi juga meluas pada pengetahuan yang mengolah rasa, jiwa, dan spiritual manusia.

Dengan demikian learning to know adalah proses mencari pengetahuan seluas mungkin dengan sasaran keutuhan manusia dalam akal budi, hati nurani, dan spiritual. Hal ini mirip dengan paham antropologi modern yaitu pneuma, psyche, dan soma.

Learning to do adalah belajar untuk melakukan. Hal ini ditetapkan sebagai arah dan tujuan dari aktivitas belajar yang kedua dari proses belajar yakni pada kemampuan untuk bertindak dan berkarya. Pengetahuan yang luas harus diterapkan untuk bisa dijadikan sebuah tindakan dan karya yang baik. Sejalan dengan itu, Confucius pun telah menekankan bahwa orang harus berbuat atau berkarya. Bertolak belakang lagi dengan Daoisme yang mengajarkan agar “tidak melakukan apa pun”, Confucius mengajarkan (berbicara tentang moral) “berbuat tanpa pamrih”. Confucius sering mengaitkan ini dengan konsep Ming (sering diterjemahkan sebagai takdir, nasib) yaitu orang harus tetap berusaha untuk berbuat dan berkarya yang baik tanpa pamrih karena nilai luhur dari tindakan bukanlah terletak pada hasil melainkan pada proses di mana orang melaksanakan sesuatu tanpa menghiraukan apakah secara lahiriah perbuatan itu berhasil atau gagal. Confucius berkata “Manusia bijaksana bebas dari keragu-raguan; manusia berbudi luhur bebas dari perasaan cemas; manusia yang berani bebas dari ketakutan”. Ucapan ini berarti orang akan bahagia jika bebas dari kecemasan apakah akan berhasil dan bebas dari ketakutan akan gagal. Jadi, tindakan dan berkarya adalah sebuah kewajiban manusia di mana nilai dari tindakan itu bukanlah lahiriah berhasil atau gagal melainkan pada keteguhan untuk selalu berusaha melakukannya dengan baik.

Learning to be adalah belajar untuk menjadi. UNESCO meletakan tujuan yang ketiga dari aktivitas belajar yaitu menanamkan sikap tenggang rasa atau merasa “menjadi” terhadap orang lain. Dalam ajaran Confucius, learning to be sepadan dengan teori tenggang rasa (Chung) dan altruisme (Shu). Teori tenggang rasa (Chung) dijelaskan dengan perkataan, “Lakukanlah kepada orang lain sesuatu yang kamu sendiri ingin orang lain melakukannya untukmu”. Teori altruisme (Shu) yaitu “Jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain melakukannya padamu”. Maka jelaslah bahwa Confucius pun telah memiliki kesadaran pentingnya merasa “menjadi” terhadap orang lain. Hal ini menunjukkan olah rasa yang diasah yaitu menjadi mengerti akan orang lain seperti diri sendiri, menjadikan diri sebagai tolak ukur refleksi moral. Selain itu juga ada ajaran pembetulan nama yaitu orang hidup sesuai dengan nama (jabatan, peran sosial). “Hendaknya penguasa menjadi seorang penguasa, menteri menjadi menteri, ayah menjadi seorang ayah, dan anak menjadi seorang anak”. Maka orang perlu menghidupi atau menjadi sesuai “nama”-nya.

Learning to live together adalah belajar hidup bersama. UNESCO meletakkan tujuan yang keempat dari aktivitas belajar manusia yaitu orang belajar untuk hidup bersama orang lain atau bersosialisasi dalam masyarakat. Confucius pun telah menegaskan bahwa kemanusiaan yang tertinggi adalah pada tahap hidup sosial bersama orang lain. Dalam hal ini kita temukan rasa kemanusiaan (jen) sebagai landasan moral dan etika. Pada kesimpulannya Confucius menyatakan bahwa cinta kasih. “Rasa kemanusiaan terkandung dalam sikap mengasihi terhadap manusia yang lain”. Manusia yang benar-benar mengasihi orang lain adalah manusia yang dapat melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat.

Oleh karena itu, di era modern ini tampak nyata bahwa pemikiran Confucius masih relevan untuk dapat diterapkan. Sekalipun pandangan UNESCO tetang keempat tujuan dari aktivitas belajar dalam proses pendidikan yang ideal tidak murni bertolak dari paham ajaran Konfusianisme tetapi inti yang hendak disampaikan mengakar pada suatu prinsip yang sama yaitu humanisme yang merupakan takaran ukuran kemanusiaan yang integral dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Karenanya, belajarlah dari pengalaman karena hidup kita akan menjadi bermakna apabila kita tak bosan-bosannya belajar dari pengalaman hidup kita. Dari sana hidup itu akan menjadi lebih bermakna!

Jumat, 23 Oktober 2009

Target & Harapan Presiden untuk Kabinet INdonesia Bersatu II

Catatan: TUliasn ini diambil dari harian Kompas, Sabtu, 24 Oktober 2009, dengan Judul tulisan: "Target Menteri Lebih Ambisius" Saya tidak mengambil secara keseluruhan tetapi beberapa bagian saja. Selamat membaca....


Jakarta, Kompas - Dalam sidang kabinet paripurna pertama periode kedua pemerintahannya, Jumat (23/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan agar para menteri kabinet baru memasang target yang lebih ambisius untuk mendongkrak peningkatan capaian. Sidang yang berlangsung sehari setelah pelantikan menteri itu digelar di ruang sidang utama Gedung Sekretariat Negara di kompleks Istana Kepresidenan.

Salah satu indikator pembangunan yang disebut Presiden adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi 7 persen atau lebih pada tahun 2014. Program pengurangan angka kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran harus berjalan efektif. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas. Ditekankan pula masalah pembangunan inklusif dan berkeadilan antarsektor dan antardaerah.

Terkait target yang lebih ambisius, Presiden menekankan pentingnya pencapaian diraih dengan tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk reformasi birokrasi. Dalam sektor pendidikan perlu dilakukan reformasi pendidikan kedua dan adanya reformasi kesehatan pertama.

Dalam kesempatan itu juga, Presiden memperkenalkan tiga semboyan yang diharapkan akan menyemangati anggota kabinet selama mengemban tugas. Presiden meminta para menteri menjaga keberlanjutan program kerja, membuat perubahan yang diperlukan, mengatasi sumbatan pertumbuhan, dan menjaga soliditas kabinet sebagai satu tim kerja.

Tiga tagline atau semboyan Kabinet Indonesia Bersatu II yang diperkenalkan Presiden dituliskan dalam bahasa Inggris. ”Tagline itu sesuatu yang mengingatkan kita akan menuju ke mana, dengan semangat apa kita melangkah, yang harus kita ingat selama mengemban tugas,” ujarnya.

Semboyan pertama adalah ”Change and Continuity” (perubahan dan keberlanjutan). Presiden mengingatkan, sebagian program Kabinet Indonesia Bersatu I periode 2004-2009 yang dipimpinnya perlu dilanjutkan sejauh masih relevan. Meski demikian, dibutuhkan perubahan dan perbaikan jika program sebelumnya tidak mencapai sasaran.

”Jangan malu-malu melanjutkan policy pejabat sebelumnya. Wah, sekarang, kan, menterinya saya, yang lain masukkan ke laci, keliru itu. Saya tak ingin Saudara gegabah tergesa mengubah kebijakan, padahal kebijakan itu kebijakan saya yang masih harus berlanjut lima tahun mendatang,” ujar Presiden.

Semboyan kedua adalah ”De-bottlenecking, Acceleration, and Enhancement” (penguraian hambatan, percepatan, dan peningkatan). Presiden mengatakan, ia masih melihat banyak ”kemacetan” dalam berbagai bidang, antara lain tata ruang dan perizinan. Jalan keluar mesti dicari sebagai bagian dari upaya menguraikan hambatan itu. Selanjutnya dilakukan percepatan, yakni meringkas proses yang bertele-tele. Para anggota kabinet juga diminta memasang target yang lebih ambisius untuk mendongkrak peningkatan capaian.

Semboyan ketiga adalah ”Unity, Together We Can” (bersatu, bersama kita bisa). Presiden mengingatkan, seberapa hebat keahlian setiap menteri tidak akan banyak bermanfaat jika tidak disinergikan dengan anggota-anggota kabinet lainnya. ”’Unity, Together We Can’. Harus kita satukan potensi ini. Bersama kita bisa. Ke situ akhirnya. Tidak mungkin menteri perindustrian jalan sendiri tanpa sinergi dengan Menteri Perdagangan, Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan sebagainya. Demikian juga menteri-menteri yang lain,” tuturnya.

Presiden mengingatkan, terdapat tiga menteri koordinator yang bertugas mengoordinasikan para menteri di jajaran masing-masing. Namun, para menteri koordinator juga tidak bisa berjalan dengan sudut pandangnya sendiri-sendiri tanpa menimbang jajaran lain.
”Ada Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, yang 24 jam ibaratnya, 7 hari seminggu, untuk memastikan semua berjalan. De-bottlenecking, karena unit kerja presiden adalah mata saya, telinga saya, tangan saya, untuk melakukan sesuatu jika perlu,” kata Presiden Yudhoyono.

First in My Life

By: Romald Kahardi

First in my life. Tepatnya pada hari Minggu tanggal 11 Oktober 2009 yang lalu, aku mengalami pengalaman yang unik dan seru. Aku bersama istriku yang di doakan / dipestakan bersama lima pasang keluarga baru di lingkungan Yayasan pendidikan Charitas Jakarta mendapat kejutan dari panitia acara untuk menunggang kuda. Tidak tanggung-tanggung, tiga ekor kuda di hadirkan dalam acara ini. Kalau menunggang kuda itu memang hal yang biasa buat saya karena kuda adalah mainan saya dikala SD di Flores sana. Namun menunggang kuda hari itu adalah sesuatu yang luar biasa. Betapa tidak, aku dan istriku Tupa bersama dua pasang keluarga baru yang dipestakan hari itu menunggang kuda dan diarak ke tenda pesta. Ada rasa takut, canggung dan cemas, tapi dalam kecemasan dan canggungku itu ada rasa bahagia yang tersembunyi. Ya.... biasa..... demam panggung...... bayangkan diantara kerumunan banyak orang aku dan istriku diarak dari luar tempat pesta menuju panggung utama tempat acara berlangsung. Semua orang bertepuk tangan dan bersorak ria. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana kacaunya hati saya waktu itu......... kacau campur senang karena akhirnya apa yang aku cemaskan diawal menunggang kuda bersama istriku yaitu, jatuh....., kudanya takut dan berontak..... tidak terjadi dan semuanya berjalan dengan baik.

Hari yang istimewa dalam hidup dan pasangan hidupku. First in my life. Acara syukuran mantenku bersama kelima pasang keluarga baru yang lain dirayakan bersamaan dengan perayaan syukur 30 Tahun Yayasan Pendidikan Charitas hadir di Jakarta dan 800 tahun gerakan Fransiskan di dunia. Acara ini juga menjadi luar biasa karena: Perayaan ekaristinya dipimpin oleh seorang uskup, yaitu Uskup Bogor, Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM. Ada tari-tarian, ada pelepasan 11 ekor burung merpati putih, musik pengiring paduan suara adalah musik gamelan yang pemainnya adalah siswa-siswi SMA Charitas. Ada penampilan eksentrik dari TK, SD, SMA dan SMA Charitas. Ada angklung, ada gamelan lebih seru dan khikmat karena ada “Lagu Ave maria karangan J. S. Bach yang dilantunkan oleh Verina, salah seorang siswa kelas X SMA Charitas dan lagu The Prayer yang dilantunkan oleh dua orang siswa SMA Charitas, yakni Carla dari kelas X dan Hadi dari kelas XII IPS membahana membelah semarak perayaan siang itu.

Tidak hanya itu, perayaan siang itu menjadi lain dari biasanya dengan hadirnya tiga grup band SMA Charitas yakni The Scarz dari kelas XII IPA, The Last Poopies dari kelas XII IPS dan The Gezit dari kelas XI. Ketiga Grup Band ini tampil mengesankan dengan keunikannya masing-masing. The Scarz dengan vokalis Inna, Marvin pada Bass, Markus pada keyboard dan gege pada Guitar dengan apik dan sempurna membawakan lagu Sempurna, aku cinta Dia dan Prahara Cinta. Selanjutnya Tashya dari Band The Last Poopies berhasil membawakan lagu: Maafkan, Sinaran dan Dia. Penampilan Grup band ini sangat memukau karena mereka membawakan lagu dalam nada akustik. Kedua gitaris The Last Poopies Kevin dan Aris mampu menghentak adrenalin para undangan untuk menyaksikan penampilan mereka. Selain itu Duet vokalis the Gezit, Andre dan Inge menambah semarak acara siang itu dengan penampilan mereka dengan lagu Tears in heaven. Lagu ini diaransemen ulang oleh The Gesit dengan menggunakan irama reage yang indah. Adapun personil The Gezit adalah: Andre dan Inge pada Vokal, Michael pada guitar, Ones pada Bass dan Anley pada Drum. Seru deh.... profisiat baut kamu semua. Kehadiran anda di datas Panggung membuat suasana pesta / perayaan menjadi semarak dan meriah.

Selain itu, hari ini menjadi lain dari biasanya karena untuk pertama kalinya aku dan istriku mengenakan pakaian adat Manggarai warisan budaya adat leluhur: Songke Manggarai, Peci Manggarai dan Selendang Manggarai. Maka jadilah......” Songke Manggarai indangno...... Kelima pasangan yang lainpun mengenakan pakaian adat masing-masing. Jadi hari itu, budaya Manggarai disandingkan dengan budaya Jawa, dan budaya Batak; walau hanya dalam hal pakaian. Saya pikir, budaya boleh beda dan pakaian adat boleh beda tapi persaudaraan dan kekeluargaan adalah yang utama. Karenanya, Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM bilang dalam kotbahnya, ” Hendaknya kita menjadi berkat bagi sesama dimanapun kita berada”. Hal ini juga selaras dengan tema yang menjadi inti permenungan dalam perayaan agung ini, ” DIBERKATI UNTUK MENJADI BERKAT.”

First in my life. Aku bersama pasangan hidupku menunggang kuda dengan mengenakan pakaian adat Manggarai. Seru dan eksentrik. Diarak ’bak raja keraton....... Terima kasih buat semua, khususnya buat panitia perayaan yang membuat perayaan kali ini menjadi unik dan bermakna. Doaku menyertaimu semua dan Tuhan memberkati. Dan ingat biarlah berkat Tuhan yang kita peroleh dibagikan dan diwartakan kepada sesama dimanapun kita berada!