Minggu, 04 Desember 2016

KAMI BERAGAMA BUKAN KAFIR

Pagi ini setelah pulang gereja, aku melihat teman-teman di lingkunganku sedang kerja bakti. Menata halaman Musola dengan Konblok. Wah ada kerja bakti kataku dalam hati. Aku berbergegas Ganti pakaian lalu aku berangkat bergabung untuk kerja bakti bersama. Di sana ada canda dan gelak tawa, ada gurauan dan cerita ceria. Waktu kira-kira jam 11.30 WIB. Itu berarti tinggal beberapa saat lagi suara Adzan menggelora. Waktu Adzanpun datang dan kami berhenti beraktivitas dan teman-temanku siap-siap untuk sholat siang dan aku kembali ke rumah yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari Musola. Ketika di rumah, aku menyaksikan anakku asik dengan legonya. Ia menyusun lego membentuk piramida dengan tinggi kira-kira 60 cm. Sejenak aku berbincang denganya; kataku, Arthur ini bangunan apa? Aku bikin gedung bertingkat katanya, ini bangunan apartemen. Oh.... rupanya anakku pingin jadi Arsitektur bangunan atau perancang baangunan gedung bertingkat. Oke deh kataku. Ya... ialah pa, Arthur mau jadi arsitek. Sip kataku mudah-mudahan terwujudya... Dari Musola terdengar suara jemaat mengaji dan anaku sibuk dengan legonya. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiranku untuk menulis. Aku menyalakan notebookku dan mulai berpikir untuk menulis. Kebetulan nuraniku terusik karena pada malam kemarin aku menyaksikan berita dari televisi dimana ada seorang saudaraku se-bangsa dan se-tanah air Indonesia mengeluarkan kata-kata ini, “ ... kafir”. Aku tidak mau menyebut siapa orangnya, biarlah itu menjadi rahasia pribadiku. Kafir! Demikain kata yang terus mengutik nuraniku. Gara-gara kata ini, aku terusik dan terus terusik. Pasalnya aku, aku ini orang terpelajar dan kini profesiku adalah seorang pengajar, lebih lagi aku seorang Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Charitas Jakarta. Siswa didikanku berasal dari pelbagai agama. Ada Katolik, ada Kristen, ada Islam, ada Konghucu, ada Hindu dan ada Buddha. Kepada mereka kuajarkan toleransi dan menghargai satu sama lain biarpun mereka berbeda dalam keyakininan. Aku tidak pernah mengajarkan kepada mereka untuk meremehkan, merendahkan apalagi mengkafirkan yang lain yang tidak sepaham dengan keyakinan pribadi mereka masing masing. Singkatnya Siswaku sangat toleran dan sangat menghargai adanya perbedaan. Itulah indahnya Indonesia kataku. Kini ketika semalam aku mendengar kata ” Kafir” dari berita TV, aku terhentak dan terbangun dari asah toleransiku. Aku bergumam dalam hati, “ Apakah Tuhanku berbeda dengan Tuhan mereka” Entahka Allah yang kusembah dan kupuji seturut ajaran agamaku memang berbeda dari Allah yang diajarkan oleh mereka yang memandang aku dan yang lain sebagai tak beragama atau Kafir? Hem.... Agamaku agama Katolik, bukan agama kafir. Aku percaya aku diselamatkan dan akau percaya juga dalam agama yang lain selain diriku ada keselamatan. Singkatnya keselamatan itu bukan milik agama ku dan juga agama mereka. Nukilan hati dalam esai ini sebenarnya bisa dilihat sebagai sebuah pembelaan terhadapa apa yang kudengar dan yang kurasakan sesuai dengan tuntutan nurani kesadaranku sebagai insan ciptaan Tuhan yang beriman, beriman kepada Kristus. Aku yakin ini adalah sebuah kebenaran. Firmn Tuhan dalam agamaku mengajarkan untuk saling memahami dan saling mengakui kekhasan khasanah iman dalam agama yang lain. Ini juga yang membuat aku untuk selalu berpikir pluralis dan menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi di persada Nusantara. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu, Indonesia. Aku kurang terima kalau Aku dan agamaku dipangdang sebagai Kafir, Tidak ber-Tuhan. Agamaku diakui di negara ini. Bukan saja agamaku tetapi Agama kita semua, apapun itu namanya. Jadi please, jangan sebut yang lain kafir. Bukankah pendiri bangsa ini menerima dan mengakui hal ini? Pancasila adalah dasar negara dengan lima sila yang sudah disepakati untuk dipelihara bersama. Jangan karena gara-gara PILKADA, kita menjadi terpecah dan intoleran dengan keberadaan agama yang satu dengan yang lainya. Harapan dan doa dalam agamaku selalu terarah kepada kebaikan, bukan sebaliknya. Doa sebagai ungkapan iman kepada Tuhan menjadi sesuatu yang khas dan hakiki dalam menghayati agama. Agamaku memiliki cara tersendiri dalam memujidan menyatakan keagunggan Tuhan atau Allah yang aku sembah. Dan itu caraku, bukan caramu. Kamu tentu mempunyai cara tersendir juga dalam berdoa dan itu harus kuakui dan harus kupahami itu adalah caramu dalam memuji keagungan sang pencipta. Kita memang beda. Beda dalam keyakinan. Mungkin kita beda dalam menilai dan menanggapi sebuah persoalan. Berdoalah supaya orang itu bertobat, bukan sebaliknya. Doa untuk sebuah kebaikan , bukan sebaliknya. Doa untuk sebuah perubahan, bukan sebaliknya. Tebarkan kebaikan bukan kemunafikan, Tebarkan kebersamaan, bukan antah beranta. Tebarkan senyum bukan kerutan. Sampaikan maaf bukan hujatan. Hujatan membuahkan kerusakan dan kebencian. Kebencian dan ujaran kebencian menghasilkan duka bagi kemanusian dan ke-Indonesiaan kita. Akhir-akhir ini, Dunia media sosial atau ruang publik dipenuhi dengan ujaran kebencian. Bahasa dan ungkapan hati dalam medsos lebih sering dipakai untuk menjelek-jatuhkan yang lain. Aku tanya dalam hati, Apakah ini juga masuk dalam ajaran agama yang kita imani? Tidak! Agama mengajarkan kedamaian, bukan permusuhan. Agama mengajarkan kebaikan bukan kejahatan. Cinta kasih adalah bahasa utama agama-agama walau dengan cara dan perspektif yang berbeda. Kini Aku ingat akan apa yang pernah aku dengar dari Guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ketika aku duduk dibangku kelas enam SD tiga puluh tahun silam. Pak Anton paduan namanya. Katanya, “Semua agama mengajarkan hal-hal baik dan Percaya kepada Allah yang satu dan Sama namun dengan cara yang berbeda. Islam dengan cara Islam seturut Ajaran nabi Besar Muhammad saw. Katolik / Kristen seturut ajaran Yesus Kristus. Buddha seturut ajaran Budha Sidarta Gautama, begitupun juga yang lainya. Satu tujuan beda jalan. Dan itulah AGAMA.” Jadi jangan bilang yang lain “Kafir” karena kita memang beda, beda keyakinan! Namun kita tetap satu, INDONESIA.

POHON TUAK DIPINGGIR KALI

Senja itu, aku dan papa barusan selesai membajak sawah. Gerimis dan hembusan angin membuat aku menggigil kedinginan. Papa, sahutku, “sepertinya aku kedinginan.” Ya anakku, sebentar lagi kita akan pulang, tapi kita singga di pohon tuak dekat kali itu. Nanti kita akan menghangatkan badan dengan minum tuak disana. Ah... itukan buat papa celotehku. Akukan belum boleh minum tuak kata papa. Oh tidak apa-apa. Kamu temanin papa saja, setelahnya kita pulang ke rumah. Alam sekitar perlahan-lahan gelap ketika aku dan papa mendekati pohon tuak itu. Aku sngat terkejut, ternyata di dekat pohon tuak itu sudah menunggu delapan orang sahabat papa menunggu kedatangan kami. Sepertinya mereka sudah berjanji untuk bertemu di situ. Eh... nak kapan datang, sudah liburan ya... sambil bersalaman. Kami sudah menunggu dari tadi. kata salah seorang dari mereka. Emangya ada apa tanyaku. Oh tidak apa-apa. Kami biasa bertemu disini setiap sore. Biasa rutinitas orang kampung. Apalagi kalau bukan minum tuak. Hahaha.... tawaku menimpali mereka. Reaksiku memancing tawa dan gurauan. Jangan seperti kami ya nak. Belajar yang rajin biar pintar dan bisa jadi orang hebat. Seperti biasanya, orang-orang dikampungku mempunyai kebiasaan “pante raping” untuk memproduksi gula merah dan tuak (moke) minuman khas kampungku. Betapa senang dan gembiranya aku bisa ngobrol dan berbincang-bincang dengan mereka sore itu. Aku senang dan mereka juga senang, soalnya aku hanya bisa bertemu mereka disaat liburan sekolah, itupun tidak dalam waktu yang lama, paling hanya 3-4 hari dalam setahun. Maklum aku anak sekolah yang tinggal di asrama. Aku sekolah dan tinggal di Asrama sejak SMP, SMA dan hingga aku kuliah. Perlahan tapi pasti, papaku naik ke pohon tuak dan menurunkan tuak hasil sadapan selama sehari. Lumayan banyak hasilnya, satu rudang.(Wadah dari bambu untuk menampung sadapan nira / tuak, panjangnya kurang lebih 1,5 m.) Posisi duduk kami melingkar, dan ditengahnya kami membuat api unggun kecil sebagai penerangnya. Papaku mengambil ”timpes” yang setiap hari mereka gunakan sebagai pengganti gelas untuk minum tuak di dekat pohon tuak. Timpes itu terbuat dari bambu tapi ukuranya sangat kecil. Kira-kira bisa menampng ¾ botol bir. Jumlah kami yang minum petang itu 10 orang. Papaku meminta saya untuk menjadi bandar, menuangkan minuman dari rudang ke Timpes. Timpesnya hanya satu buah dan minumnya saling bergantian. Wah... petang ini bandarnya orang spesial.... yang adil ya... semua harus dapat jatah yang sama.... Ya kataku, aku akan melakukan tugas ini, tapi mulai dari siapa? Terserah kamu kata papa. Aku terdiam sejenak, lalu aku memandang sekeliling mereka.... Oh kenapa diam tanya om ku, Bagi saja menurut pendapat dan keinginanmu. Oh aku tahu harus mulai dari yang paling tua kataku... disambut gelak tawa semuanya... Ya harus begitu, kata papa. Kita harus adil dan mendahulukan yang lebih tua. Itu pesan nenek moyang kita. Ya ini kearifan lokal yang harus dihidupi dalam kehidupan bersama dalam masyarakat, pikirku. Aku melayani mereka satu persatu. Menuangkan tuak dari rudang ke timpes. Suasana petang itu sangat asik dan menyenangkan sesekali terdengar tawa, celotehan ringan dan sesekali juga mereka menanyakan tentang sekolah dan pribadi saya.lain lagi. Aku baik-baik saja kataku. Merka tidak lupa memberiku nasihat supaya rajin belajar dan disiplin dalam sekolah, ingat pesan orang tua, hormati guru dan banyak hal. Malam semakin larut, jam tanganku menunjuk angka 7, berarti sudah jam 19.00 WIT. Sampai kapan kita di sini? Wah.. sampai tuaknya habis. Inikan banyak kataku. Bagaimana kalau kita lanjutkan di rumah. Wah... nanti agak susah... rumah kitakan berjauhan... Kita belum mandi, masih ada lumpur bekas bajak sawah.... Ah... Abaikan saja sajakapan lagi kita bisa bercanda dan bergurau bersama. Waktu terus berjalan, malam semakin larut, tak disanggka sudah jam 22.00 WIT dan akhirnya tuakpun habis. Kami akhirnya bersepakat untuk berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku dan papa membereskan rudang dan timpes dan kembali ke rumah. Hal ini hampir terjadi setiap hari dan pada hari yang ke-3, aku berpikir, sepertinya ini kebiasaan yang kurang terlalu bagus untuk diteruskan. Pola hidup seperti ini ada baiknya akan tetapi kurang baik untuk kesehatan. Lama-lama mereka jatuh sakit dan tidak bisa bekerja untuk melanjutkan hidup. Aku berdiskusi dengan papa, kalau tuaknya dibawah ke rumah dan minum di rumah keesokan harinya sekalian perpisahan dengan aku yang sudah habis masa liburanya. Tawaranku diterima dan papaku menyampaikan kepada mereka bahwa besok Tuaknya akan dibawa ke rumah sesuai dengan kesepakatan aku dan papa. Saatnya tiba, katena mereka tahu, aku akan berangkut sekolah dan tinggal di Asrama lagi, mereka datang dan masing-masing membawa buah tangan untukku dan untuk dimasak dan makan bersama malam itu. Ada yang membawa beras dan ayam, ada yang membawa kopi dan rebok (cemilan khas dari kampungku, terbuat dari tepung beras yang di sangrai); dan masih banyak lagi yang lainnya. Wah.. pikirku dalam hati, aku kan yang mengundang mereka buat minum tuak dan makan bersama, tapi kok mereka malah membawa sesuatu buat kita. Kami menerima mereka dengan gembira hati dan aku melihat wajah penuh sukacita menyertai semuanya. Malam itu ada doa, ada harapan, ada nasihat, ada suasana persaudaraan, ada canda dan ada tawa. Semuanya tercipta malam itu. Kata papaku, ini adalah cara mereka mensuportmu dalam meraih dan menggapai cita-cita serta keberhasilan dalam belajar. Kini, setelah sekian tahun aku meninggalkan mereka yang mensuportku dengan cara yang paling sederhana yang mereka berikan, seperti melalui kebersamaan di bawah pohon tuak dimana mereka mempercayakan aku untuk menjadi bandar, menuangkan tuak dari rudang ke dalam timpes, aku sadar bahwa Adil dan berlaku adil kepada sesama itu merupakan sesuatu yang patut dilakukan. Disamping itu, kini aku menyadari bahwa setiap orang mempunyai cara tersendiri dalam memberikan suport kepada orang lain. Inilah yang saya lakukan kepada peserta didikku di tempat saya bertugas kini. Aku mengajarkan mereka untuk berlaku adil dan menghargai masukan dan pemberian orang lain, walaupun itu dipandang kurang berarti. Kecil itu indah dan menakjubkan!