Minggu, 04 Desember 2016

POHON TUAK DIPINGGIR KALI

Senja itu, aku dan papa barusan selesai membajak sawah. Gerimis dan hembusan angin membuat aku menggigil kedinginan. Papa, sahutku, “sepertinya aku kedinginan.” Ya anakku, sebentar lagi kita akan pulang, tapi kita singga di pohon tuak dekat kali itu. Nanti kita akan menghangatkan badan dengan minum tuak disana. Ah... itukan buat papa celotehku. Akukan belum boleh minum tuak kata papa. Oh tidak apa-apa. Kamu temanin papa saja, setelahnya kita pulang ke rumah. Alam sekitar perlahan-lahan gelap ketika aku dan papa mendekati pohon tuak itu. Aku sngat terkejut, ternyata di dekat pohon tuak itu sudah menunggu delapan orang sahabat papa menunggu kedatangan kami. Sepertinya mereka sudah berjanji untuk bertemu di situ. Eh... nak kapan datang, sudah liburan ya... sambil bersalaman. Kami sudah menunggu dari tadi. kata salah seorang dari mereka. Emangya ada apa tanyaku. Oh tidak apa-apa. Kami biasa bertemu disini setiap sore. Biasa rutinitas orang kampung. Apalagi kalau bukan minum tuak. Hahaha.... tawaku menimpali mereka. Reaksiku memancing tawa dan gurauan. Jangan seperti kami ya nak. Belajar yang rajin biar pintar dan bisa jadi orang hebat. Seperti biasanya, orang-orang dikampungku mempunyai kebiasaan “pante raping” untuk memproduksi gula merah dan tuak (moke) minuman khas kampungku. Betapa senang dan gembiranya aku bisa ngobrol dan berbincang-bincang dengan mereka sore itu. Aku senang dan mereka juga senang, soalnya aku hanya bisa bertemu mereka disaat liburan sekolah, itupun tidak dalam waktu yang lama, paling hanya 3-4 hari dalam setahun. Maklum aku anak sekolah yang tinggal di asrama. Aku sekolah dan tinggal di Asrama sejak SMP, SMA dan hingga aku kuliah. Perlahan tapi pasti, papaku naik ke pohon tuak dan menurunkan tuak hasil sadapan selama sehari. Lumayan banyak hasilnya, satu rudang.(Wadah dari bambu untuk menampung sadapan nira / tuak, panjangnya kurang lebih 1,5 m.) Posisi duduk kami melingkar, dan ditengahnya kami membuat api unggun kecil sebagai penerangnya. Papaku mengambil ”timpes” yang setiap hari mereka gunakan sebagai pengganti gelas untuk minum tuak di dekat pohon tuak. Timpes itu terbuat dari bambu tapi ukuranya sangat kecil. Kira-kira bisa menampng ¾ botol bir. Jumlah kami yang minum petang itu 10 orang. Papaku meminta saya untuk menjadi bandar, menuangkan minuman dari rudang ke Timpes. Timpesnya hanya satu buah dan minumnya saling bergantian. Wah... petang ini bandarnya orang spesial.... yang adil ya... semua harus dapat jatah yang sama.... Ya kataku, aku akan melakukan tugas ini, tapi mulai dari siapa? Terserah kamu kata papa. Aku terdiam sejenak, lalu aku memandang sekeliling mereka.... Oh kenapa diam tanya om ku, Bagi saja menurut pendapat dan keinginanmu. Oh aku tahu harus mulai dari yang paling tua kataku... disambut gelak tawa semuanya... Ya harus begitu, kata papa. Kita harus adil dan mendahulukan yang lebih tua. Itu pesan nenek moyang kita. Ya ini kearifan lokal yang harus dihidupi dalam kehidupan bersama dalam masyarakat, pikirku. Aku melayani mereka satu persatu. Menuangkan tuak dari rudang ke timpes. Suasana petang itu sangat asik dan menyenangkan sesekali terdengar tawa, celotehan ringan dan sesekali juga mereka menanyakan tentang sekolah dan pribadi saya.lain lagi. Aku baik-baik saja kataku. Merka tidak lupa memberiku nasihat supaya rajin belajar dan disiplin dalam sekolah, ingat pesan orang tua, hormati guru dan banyak hal. Malam semakin larut, jam tanganku menunjuk angka 7, berarti sudah jam 19.00 WIT. Sampai kapan kita di sini? Wah.. sampai tuaknya habis. Inikan banyak kataku. Bagaimana kalau kita lanjutkan di rumah. Wah... nanti agak susah... rumah kitakan berjauhan... Kita belum mandi, masih ada lumpur bekas bajak sawah.... Ah... Abaikan saja sajakapan lagi kita bisa bercanda dan bergurau bersama. Waktu terus berjalan, malam semakin larut, tak disanggka sudah jam 22.00 WIT dan akhirnya tuakpun habis. Kami akhirnya bersepakat untuk berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku dan papa membereskan rudang dan timpes dan kembali ke rumah. Hal ini hampir terjadi setiap hari dan pada hari yang ke-3, aku berpikir, sepertinya ini kebiasaan yang kurang terlalu bagus untuk diteruskan. Pola hidup seperti ini ada baiknya akan tetapi kurang baik untuk kesehatan. Lama-lama mereka jatuh sakit dan tidak bisa bekerja untuk melanjutkan hidup. Aku berdiskusi dengan papa, kalau tuaknya dibawah ke rumah dan minum di rumah keesokan harinya sekalian perpisahan dengan aku yang sudah habis masa liburanya. Tawaranku diterima dan papaku menyampaikan kepada mereka bahwa besok Tuaknya akan dibawa ke rumah sesuai dengan kesepakatan aku dan papa. Saatnya tiba, katena mereka tahu, aku akan berangkut sekolah dan tinggal di Asrama lagi, mereka datang dan masing-masing membawa buah tangan untukku dan untuk dimasak dan makan bersama malam itu. Ada yang membawa beras dan ayam, ada yang membawa kopi dan rebok (cemilan khas dari kampungku, terbuat dari tepung beras yang di sangrai); dan masih banyak lagi yang lainnya. Wah.. pikirku dalam hati, aku kan yang mengundang mereka buat minum tuak dan makan bersama, tapi kok mereka malah membawa sesuatu buat kita. Kami menerima mereka dengan gembira hati dan aku melihat wajah penuh sukacita menyertai semuanya. Malam itu ada doa, ada harapan, ada nasihat, ada suasana persaudaraan, ada canda dan ada tawa. Semuanya tercipta malam itu. Kata papaku, ini adalah cara mereka mensuportmu dalam meraih dan menggapai cita-cita serta keberhasilan dalam belajar. Kini, setelah sekian tahun aku meninggalkan mereka yang mensuportku dengan cara yang paling sederhana yang mereka berikan, seperti melalui kebersamaan di bawah pohon tuak dimana mereka mempercayakan aku untuk menjadi bandar, menuangkan tuak dari rudang ke dalam timpes, aku sadar bahwa Adil dan berlaku adil kepada sesama itu merupakan sesuatu yang patut dilakukan. Disamping itu, kini aku menyadari bahwa setiap orang mempunyai cara tersendiri dalam memberikan suport kepada orang lain. Inilah yang saya lakukan kepada peserta didikku di tempat saya bertugas kini. Aku mengajarkan mereka untuk berlaku adil dan menghargai masukan dan pemberian orang lain, walaupun itu dipandang kurang berarti. Kecil itu indah dan menakjubkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar